Halaman

Sabtu, 16 Januari 2016

SELF INTEREST (OLEH JUREID)

 Self interest bila kita analisa secara bahasa, maka dapat kita tarik beberapa pengertian yang cukup relevan dengan karakteristik pengertian aslinya sendiri. Kata self berarti diri sendiri, misalnya dalam bahasa inggris “I do it by my self” saya melakukannya sendiri. Jadi sifatnya sangat individual. Sedangkan interest, dalam bahasa inggris memiliki makna yang cukup banyak bila kita artikan secara terpisah, misalnya interest sama dengan kepentingan, bunga, menarik, perhatian, minat,  dan sebagainya. Namun apabila kita satukan menjadi self interest, maka makna kalimat ini adalah kepentingan pribadi (diri). Dan penggalan-penggalan makna yang disebutkan sebelumnya menunjukkan karakteristiknya yang egois dan relevan, misalnya “bunga” yang dalam islam haram dan dilarang namun banyak disukai oleh manusia karena manfaat duniawinya.

 SELF INTEREST menjadi titik tekan dalam kajian ekonomi. Bahwa manusia memang mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya dalam kehidupannya demi mencapai kesejahteraan dirinya (diri disini dapat kita generalisasikan sebagai bentuk pribadi, keluarga atau yang lainnya).  Secara naluriyah, semua manusia menginginginkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Beberapa cara dari mulai yang ideal sampai yang pragmatis ditempuh untuk mencapai tujuan itu. Walaupun pada dasarnya semua memilik tujuan yang sama namun caranya untuk menggapainya tentu berbeda-beda, bahkan ada yang berlawanan.

PERBINCANGAN mengenai self-interest tetap memikat. Ini karena konsep self-interest menyeruak ke tengah arena diskursus secara dinamis, dan senantiasa berada dalam suatu tegangan pro-kontra. Baik itu dalam diskursus filosofis, sosiologi maupun politik. Dalam filsafat Plato, misalnya, self-interets diposisikan sebagai sesuatu yang negatif. Dikatakan Plato, self-interest merupakan biang kejahatan dan dosa. Baginya self-interest hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara itu, Aristoteles memandang secara ambigu keberadaan self-interest. Menurutnya, self-interest tidak melulu negatif, melainkan juga positif. Sebab, menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Namun demikian, pada akhirnya, yang disebut good interest menurut Aristoteles adalah kepentingan umum (common interest) yang memungkinkan terbentuknya suatu unanimitas masyarakat. Lalu dalam pandangan Agustinus, keberadaan self-interest disubordinasikan kepada kecintaan dan pengabdian kepada Yang Ilahiah. Dengan kata lain, di mata Agustinus, self-interest merupakan gerak vertikal penghambaan diri kepada Allah. Sampai di sini, sejatinya, self-interest masih diletakkan sebagai hal yang sekunder. Konsep self-interest yang partikular dideduksikan kepada yang universal, yaitu masyarakat atau Allah, misalnya
Akan tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi yang sangat berbeda daripada era-era sebelumnya. Di sini, self-interest seolah betul-bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja Bentham yang melihat self-interest sebagai perkara psikologis individual. Meski – kata Bentham – selain self-interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap lebih prioritas. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas.

Penjelasan singkat tentang dinamika self-interest di atas menunjukkan bahwa konsep self-interest telah menempuh perjalanan filosofis-dialektis yang begitu panjang. Ini menunjukkan bahwa pada tataran filosofis konsep self-interest masih merupakan konsep yang selalu terbuka. Akan tetapi tidak demikian di dalam konteks teori ekonomi. Di dalam ekonomi, pengertian self interest sudah dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat. Di wilayah ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas tindakan manusia. Mengutip Hirschman, di dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang sehingga menjadi suatu paradigma dan doktrin.

Self interest merupakan bagian dari konsep rasionalitas ekonomi, yang pada setiap individu tentu mempunyai paradigm yang berbeda-beda. Pemahaman tentang rasionalitas tidka bisa dipaksakan begitu saja dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Inti dari adanya pengertian ekonomi yang sempit itu sendiri adalah pilihan dalam penggunaan sumber daya. Dalam pemilihan ini, manusia menjumpai masalah kelangkaan (scarcity). Dengan demikian sasaran ilmu ekonomi adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Dari sini muncul defenisi ekonomi yang dipegang sampai sekarang ini yaitu sebuah kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang terbatas yang mengandung pilihan dalam penggunaannya.

Ada beberapa titik tekan dari pengertian di atas, prilaku manusia, pilihan dan alat pemuas yang terbatas. Unsur “prilaku manusia” muncul sebagai bagian dari aplikasi naluriyah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus diwujudkan melalui aktivitas. Prilaku ini tentu merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri pelakunya, yang berupa kepercayaan, kecenderungan berpikir, tata nilai, pola pikir dan juga ideologi. Term “pilihan” merupakan hal yang wajar pula, sebab manusia punya rasa, idealisme, dan kecenderungankecenderungan serta ukuran-ukuran tertentu yang menjadi standar dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga tergantung pada yang ada di balik pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang terbatas” atau kelangkaan sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa tidak. Relativity is an attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan. Namun dalam konteks bahwa tujuan manusia mencari kekayaan, term tersebut dapat menjadi spirit untuk mendorong manusia mencapai kekayaan dengan secepatnya. Pendek kata term terakhir ini, mengimplikasikan adanya target tertentu yang harus dikejar pelaku ekonomi.

Dalam bangunan terminologinya konsep rasionalitas ekonomi itu muncul, setiap orang dapat mencari kesejahateraan hidupnya (kekayaan material) dengan cara melakukan pilihan-pilihan yang tepat bagi dirinya, dengan prinsip jangan sampai dia tidak kebagian mendapatkan itu karena terbatasnya ketersediaan maka halini dianggap sebagai sebagai sesuatu yang rasional.
Misalnya seorang produsen dianggap rasional jika ia mencapai tujuan usahanya dengan cara melakukan beberapa pilihan strategis, meminimalisasi capital dan mendapatkan keuntungan maksimum. Oleh karena itu, rasionalitas dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar tindakan kepentingan pribadi (self interest) untuk mencapai kepuasan yang bersifat material lantaran khawatir tidak mandapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber daya pemuas. Jadi rasionalitas menjadi fondasi penting bagi konsep self interest yang dijadikans eagai parameter suatu tindakan tepat atau tidak tepat dalam kacamata ekonomi.

Kepentingan pribadi atau self-interest, menjadi titik tekan di sini. Namun, menurut Adam Smith, penekanan pada self-interest itu bukan berarti mengabaikan kepentingan masyarakat. Menurutnya, dengan memaksimalkan self-interest, kepentingan (kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terpenuhi kesejahteraan masyarakat itu. Oleh karena itu, dalam buku-buku ekonomi, term rasionalitas ini dijelaskan bahwa pelaku ekonomi melakukan tindakan rasional jika ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan self-interest, dan pada saat yang sama konsisten dengan membuat pilihan-pilihannya dengan tujuan dapat dikuantifikasikan (dihitung untung ruginya) menuju kesejahteraan umum. Meskipun ada tujuan kepentingan umumnya, tetapi itu berangkat dari kepentingan pribadi.

Self interest yang dipostulatkan dengan rasionalitas bukan sesuatu yang ada begitu saja, akan tetapi memiliki historis sehingga membentuk konsep yang dibenarkan dalam ekonomi. Pada zaman merkantilisme, kaum saudagar tidak didorong untuk mendapatkan keuntungan besar, hal ini disebabkan karena dua hal, pertama, adanya kebijakan komunitas merkantilisme yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok pedagang besar melalui hak istimewa yang bersifat monopolistik, kedua, atmosfer keagamaan yang berakar dari ajaran-ajaran katolik yang kurang peduli dengan kesejahteraan, disisi yang lain. Katolik berpendapat kesejahteraan bertentangan dengan ajaran kristus. Bahkan orang kaya akan masuk neraka mereka menyebut “the merchant can scarcely or never be pleased to God”.

Karena faham ini maka para pedagang berada pada kondisi di bawah sejahtera, dengan mengalami ini mereka mengerti bahwa hidup sejahtera itu lebih penting daripada moral agama. Seseorang dianggap berhasil apabila mendapatkan kesejateraan. Bersamaan dengan itu pula kaum phisiokrasi menganggap potensi tanah sebagai sumber utama kesejahteraan yang mendominasi kegiatan ekonomi, sehingga muncul teori yang disebut circular flow yang menyatakan produksi, dan pemasaran (barter) serta konsumsi merupakan factor yang saling berhubungan. Hubungan ini harus berjalan secara alami tanpa ada tekanan, monopoli dan previledge lainnya.

Pada babak selanjutnya, teori-teori ekonomi yang dirintis kaum Phisiokrasi dikembangkan lebih jauh oleh mazhab Klasik. Teori ekonomi yang berkembang pada masa ini bermuara pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat digapai jika individuindividu diberi kebebasan untuk mengelola kepentingannya sendiri. Setiap individu paling mengerti apa yang terbaik untuk dirinya. Tiap individu berhak untuk mencari bidang usahanya untuk menghasilkan barang atau jasa yang dikehendakinya tanpa adanya pembatasan. Setiap individu akan mengerjakan apa yang dianggapnya paling baik untuk kepentingan dirinya sendiri. Untuk memenuhi tujuan itu, di pihak lain, negara harus memberlakukan pasar bebas yang dapat memunculkan persaingan secara leluasa.

Dari kondisi demikian, wacana tentang kepentingan pribadi menjadi dasar bagi prilaku ekonomi masyarakat. Setidaknya pada akhir abad ke 17 M, iklim ekonomi seperti ini yang kemudian terkenal dengan sistem kapitalis, telah menjadi bagian dari masyarakat. Aspekaspek produksi, distribusi (termasuk pemasaran), dan konsumsi tidak lepas dari tujuan kepentingan pribadi tersebut. Prilaku manusia menjadi sangat fungsional. Pada saat yang bersamaan, etika Protestan, aliran yang membuat front sendiri dari induknya, dirumuskan untuk mendorong dan menjustifikasi motif kepentingan pribadi itu dalam ekonomi kapitalis.

Sebagai hasil dari perubahan itu, doktrin-doktrin individualis mulai mendominasi pemikiran ekonomi. Prinsip kepentingan pribadi (self-interest) menjadi motif prilaku ekonomi masyarakat. Perubahan itu sangat drastis. Ketika selama berabad-abad “kran” untuk mendapatkan keuntungan ditutup oleh otoritas Gereja, maka ketika itu dibuka semangat masyarakat untuk mengejar keuntungan menjadi luar biasa. Apalagi didukung oleh teoriteori ekonomi dan etika Protestan yang melegitimasi prilaku itu. Perubahan tata nilai dan pola pikir masyarakat pun ikut berubah. Atmosfer usaha telah membentuk tata nilai masyarakat menjadi sangat mementingkan diri sendiri (egois). Iklim kehidupan pun telah terbingkai dalam frame berpikir masyarakat bahwa standar rasionalitas (kebenaran) seseorang adalah ketika ia melakukan sesuatu untuk kepentingannya sendiri. Faham sekularisme, memisahkan diri dari ajaran-ajaran agama (gereja) berkembang sangat luas. Suasana inilah yang menghantarkan masyarakat pada perdagangan bebas dan liberalisme ekonomi. Oskar Lange melukiskannya “Prinsip dari rasionalitas ekonomi menunjukkan dirinya di sini secara utuh untuk pertama kalinya dalam sejarah pembangunan aktifitas ekonomi manusia. Kondisi ini terus menguat hingga sekarang ini. Melalui imperialisme dan kolonialisme faham tersebut menancap di dunia muslim.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, sesungguhnya rasionalitas ekonomi itu diukur dari komitmen pelaku ekonomi dalam memegang kepentingan pribadinya. Ia dianggap tidak rasional jika tidak ada motif self-interest dalam prilakunya. Dalam sejarah, prinsip ini telah terbangun sejak dulu, sehingga ketika pelaku ekonomi melakukan kepentingannya sendiri tanpa peduli dengan orang lain, itu merupakan hal yang wajar, karena dari dulu terbiasa demikian. Apa yang dianggap mazhab Klasik bahwa kepentingan umum tercipta melalui pembebasan atas kepentingan-kepentingan pribadi ternyata tidak terwujud. Apalagi melihat kenyataan dunia dewasa ini, di mana gap tajam si kaya dan si miskin semakin menganga. Dari situ pulalah dapat dibuat blue print, bahwa konsep ilmu ekonomi adalah merupakan prilaku-prilaku yang dibayangi oleh ideologi kapitalis yang berkarakter individualis (egois) atas kepentingannya, yang diwujudkan dalam pilihan-pilihannya yang dapat memaksimalkan kepuasannya dengan target-target dan siasat-siasat tertentu yang efektif dan efesien agar tidak tersaingi oleh lainnya lantaran terbatasnya sumberdaya.

Ilmu ekonomi modern yang dibangun dengan kapitalisme, sangat kontradiktif dengan prinsip demokrasi ekonomi, kualitas hidup manusia dan juga kelangsungan hidup bumi dan isinya. Hal ini juga merupakan suatu bagian sosial yang cacat. System sosial yang cacat maksudnya adalah bahwa dunia barat yang mengukur segaanya dengan keuntungan material dan dilakukan oleh individu-individu yang mementingkan diri sendiri. Kering dari nuansa spiritual, tatanan moral, dan fenomena kejiwaan, sehingga yang ada hanyalah benda, akal, untung, dan kepentingan (interest). Globalisasi misalnya terlalu kasat mata untuk menjadi sebuah siasat barat dalam hal kepentingan barat.


Keilmuan barat yang dibangun dengan mengabaikan nuansa spiritual, tatanan moral, dan fenomena kejiawaaan, menurut faruqi dianggap sebagai kesalahan vital dalam seubuah bangunan system keilmuan. Oleh karena itu, rsionalitas yang dianggap oleh barat merupakan sesuatu yang skeptis.

George Soros dalam bukunya Open Society, Reforming Global Capitalism, juga mengungkapkan kritik  tajamnya terhadap kapitalisme global yang sekarang berkembang. Menurutnya, prinsip kapitalisme yang didasarkan pada laissez-faire telah menciptakan ekonomi sebagai sebuah sistem persaingan bukan kerjasama. Dengan ini maka muncul “siapa kuat siapa menang” dan “yang menang mengambil semuanya”. Demikian juga filsafat individualisme yang menjadi fondasi kapitalisme, menurutnya, harus dibenahi. Individualisme ini telah terang-terangan tidak berpihak pada kepentingan umum. Dan ini yang terjadi di lapangan. Apa yang diteorisasikan oleh aliran Klasik dan neo-Klasik bahwa jika setiap individu bekerja untuk mengejar kepentingannya sendiri, maka secara otomatis akan dicapai kebaikan masyarakat secara keseluruhan melalui tercapainya keseimbangan, menurutnya, tidak sesuai dengan realitas. Yang terjadi adalah kemiskinan, kepincangan dan kerusakan lingkungan hidup. Kritik Soros terhadap kapitalisme memang menarik, karena ia sendiri seorang kapitalis. Soros juga mengakui bahwa kebenaran itu tidak bisa dicapai oleh manusia karena keterbatasannya.

Gugatan terhdap kapitalisme ini sesungguhnya diakibatkan kegagalannya dalam menciptatakn keadilan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Satu factor yang membuat kesulitan menciptakan kondisi itu adalah karena kegiatan ekonomi yang luas diukur dengan standar kebenaran yang individualis (selfish), padahal setiap orang memiliki takaran rasionalitas yang berbeda.

Dengan keadaan penyalahgunaan istilah self interest oleh kapitalis tersebut, maka solusinya agar self interest dapat diterima maka dia harus disandingkan dengan konsep maslahah yang menjadi kajian utama ekonomi islam. Maslahah adalah sesuatu yang baik, bukan saja untuk pelaku tetapi juga orang lain. Oleh karena itu, maslahah disebut juga sebagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang terkandung di dalam maslahah dapat kita petakan, yaitu kepentingan pribadi, masyarakat, Negara atau umat manusia. Kepentingan pribadi atau self interest, harus diakui, khususnya ketika kepentingan tersebut hanya dalam wilayah domestic (keluarga). Terhadap kepentingan pribadi (self interest) ini islma juga merekomendasikan. Pengakuan tersebut sebagai konsekuensi atas ciptaan Tuhan yang berupa nafsu (kebutuhan dan keinginan). Dari nafsu ini berkembang keinginan manusia, berubah, dan bermetamorfose menuju derajat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, keinginan itu sebenarnya instink dasar hidup manusia.

Dalam al qur’an (tulis dlm lembarannya) saja dikatakan bahwa dibuat manusia itu memiliki rasa kecintaan terhadap perempuan-perempuan, anak-anak, kekayaan emas, perak,, dan sebagainya. Ini menunjukkan al Qur’an mengakui hal tersebut. dalam sebuah hadits juga dikatakan bahwa manusia itu selalu kurang, jika ada dua danau yang berisi harta benda, manusia menginginkan tiga danau. Ini juga sebuah bukti bahwa manusia memiliki naluri mencintai harta (self interest). Oleh karena itu wajar jika self interest cenderung selalu diutamakan dalam setiap aktivitas kehidupan manusia, termasuk ekonomi. Dengan kata lain, kepentingan manusia untuk memprioritaskan diri sendiri itu tidak dilarang dalam agama. Melalui hal itu, sesungguhnya agama mengisyaratkan agar manusia bisa memiliki dinamika hidup yang lebih variatif. Ketika itu tidak dilarang agama dan mempunyai tujuan baik, maka itu termasuk mas}lah}ah, lebih tepatnya kemaslahatan pribadi. Dalam kasus ekonomi, misalnya, ketika seseorang penjahit membuat bajunya sendiri, anaknya dan istrinya. Ini termasuk instink manusia untuk bisa menghemat uang. Dan sikap ini sebuah kemaslahatan walaupun untuk dirinya. Islam terlalu realistis untuk mengabaikan bahwa manusia itu pada dasarnya egoistik. Pada poin inilah sesungguhnya yang kurang digali lebih dalam terkait prilaku rasional ekonomi dalam perspektif Islam.

Dalam konteks pergaulan ekonomi, naluri egoistis (selfish) bisa muncul dan berbenturan dengan egoistis orang lain. Sepanjang benturan tidak saling merugikan maka hal itu masih dapat diterima. Pada keadaan tersebut, maslahah kemasyarakatan ditetapkan. Artinya interaksi ekonmi terjadi secara seimbang, tidak ada yang terlalu dirugikan dan yang terlalu diuntungkan. Dari situ konsep an tarad (ridho sama ridho) dibelakukan.

Apa yang digagas oleh para pemikir Islam kaitan dengan prilaku ekonomi dalam konteks ini cenderung menekankan pada unsur sosialnya. Walaupun tidak salah, tetapi menitikberatkan terlalu banyak kepada Islamic man sebagai insan yang lebih memiliki sifat mementingkan orang lain dan memiliki kesadaran sosial tinggi daripada dirinya, terlalu sangat berlebihan (untuk tidak mengatakannya kurang realistis). Kemaslahatan di sini berangkat dari sikap jujur, terbuka, dan kepentingan bersama. Sepanjang manusia melakukan tindakan itu, maka benturan-benturan kepentingan dapat diminimalisir. Artinya, sepanjang sifat egoisme itu dibarengi dengan sikap-sikap itu, maka konflik kepentingan tereduksi. Di sisi lain, peran pemerintah untuk mengintervensi pasar juga perlu dilakukan. Tindakan ini hanya jika dibutuhkan dalam penanganan-penanganan kasus-kasus kepentingan yang tidak bisa diatasi Demikian kemaslahatan terus berkembang secara meluas. Artinya, semakin kemaslahatan itu memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada pelaku dan orang banyak, masyarakat, wilayah, atau sampai kehidupan manusia secara keseluruhan, maka, menurut penulis, itulah kemaslahatan yang dikehendaki oleh shari>‘ah Islam. Hal ini bukan berarti kemaslahatan individu atau masyarakat tidak sesuai shari>‘ah. Kemaslahatan bersifat mengembang. Dan setiap titik yang terlampaui oleh kemaslahatan, itulah kemaslahatan juga. Mungkin lebih tepatnya kemaslahatan sementara. Sebab kemaslahatan sesungguhnya adalah kemaslahatan yansg bisa menjangkau semua kehidupan manusia. Itulah kemaslahatan sejati. Dan mungkin inilah yang dimaksud oleh al-Faruqi sebagai ketauhidan universal (the unity of humanity), di mana kehidupan manusia dalam berbagai bentuk ras, warna kulit, bentuk tubuh, kepribadian, ragam bahasa dan budaya menyatu dalam satu nilai-nilai ontologis ketuhanan. Penyatuan tersebut secara detail, menurut Naqvi, masuk dalam wilayah politik, ekonomi, sosial, dan agama, di mana kehidupan manusia ditransformasikan dalam kehidupan kemanusiaan secara menyeluruh dengan konsisten dan terintegrasi dengan alam tanpa pembeda. Dengan itu manusia mencapai harmonitas melalui munculnya rasa memiliki persaudaraan universal.

Self interest dalam rasionalitas konvesional tentu berbeda dengan pandanagn ekonomi islam, perbedaannya adalah pertama, self interest didasarkan pada kecintaanny terhadap materi yang dianggapnya satu-satunya pemuas kebutuhan, kedua, egoism yang didasarkan pada materialism terlalu kaku untuk bisa bersikap jujur, adil, dan terbuka, ketiga, sikap altruistic dwujudkan hanya untuk kepentingan material semata dimana itu bagian dari siasat jangka panjang untuk menunggu kepuasan yang lebih besar, keempat, kepuasan diukur secara berlebihan sehingga seringkali membuat tidak sadar akan keterbatasan-keterbatasan pelakunya, dan kelima, terbatsanya intervensi Negara dalam pasar ekonomi menjadikan iklim ekonomi riskan mengundang konflik. Sedangkan dalam self interestnya ekonomi islam, dengan pendek kata kita sebut dengan self interest yang tidka mengabaikan kepentingan sosial, sehingga dalam self interest syariah terkandung social interest. Yang orientasi self interestnya adalah objektif, sedangkan dalam kapitalime, seflf interest cenderung subjektif dan selfish.

Rasionalitas ekonomi dalam konsep syariah/ekonmi islam dapat kita derivasikan dengan al milk yaitu kepemilikan yang dalam koridor bertanggung jawab kepada masayarakat dalam bentuk distribusi yang adil apabila telah sampai nisab atau haulnya, kepemilikan adalah sangat dianjurkan oleh agama islam selagi tidak merugikan orang lain dan tidak menyalahi syariat. Kepemilikan ini juga tetap menjaga kemasalahatan yang liama yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemasalahatna dunia menghasilkan kemaslahatan akhirat. Kemaslahatan terdiri dari tiga yaitu daruriyah (wajib), hajjiyah dan tahsiniyah, dan untuk memenuhi itu self interest yang tidak merugikan orang lain bisa diterapkan, hal ini juga didukung dengan pernyataan Allah dalam Al Qur’an bahwa manusia tikda boleh terlalu mengulurkan tangan agar tidak membuat diri sengsara karena membuat diri sendiri sengsara adalah kezaliman.

Kemudian dapat penulis elaborasi pernyataan amartya sen, bahwa self interest harus dibekali dengan rasa simpati dan komitmen sehingga tidak hanya diri sendiri yang dipikirkan akan tetapi juga orang lain. Simpati adalah rasa berbagi dan komitmen adalah tindakan nyata dari sikap simpati tersebut.
Self interest sendiri memiliki tiga tingkatan yaitu, al nafs (self interest) al muthmainnah, al nafs al lawamah, dan al nafs al ammarah. Pada yang disebutkan pertama terkandung kesadaran ketuhanan, kesempurnaan diri, berhimpitnya dan sein dan das sollen, pada self interest kedua terkandung kesadaran intuitif, pengenalan diri muncul idealism, dan terlibat proses sosial, dan pada yang terakhir inilah sifat dari self interest kapitalisme egois yang tidak bermoral yang tidak mengandung maslahah umum.

Dengan demikian self interest dengan rasionalitasnya harus memihak kepada kemaslahatan sebagai wujud tanggung jawab bukan hanya kepada makhluk di dunia akan tetapi juga kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar