Halaman

Sabtu, 16 Januari 2016

SELF INTEREST (OLEH JUREID)

 Self interest bila kita analisa secara bahasa, maka dapat kita tarik beberapa pengertian yang cukup relevan dengan karakteristik pengertian aslinya sendiri. Kata self berarti diri sendiri, misalnya dalam bahasa inggris “I do it by my self” saya melakukannya sendiri. Jadi sifatnya sangat individual. Sedangkan interest, dalam bahasa inggris memiliki makna yang cukup banyak bila kita artikan secara terpisah, misalnya interest sama dengan kepentingan, bunga, menarik, perhatian, minat,  dan sebagainya. Namun apabila kita satukan menjadi self interest, maka makna kalimat ini adalah kepentingan pribadi (diri). Dan penggalan-penggalan makna yang disebutkan sebelumnya menunjukkan karakteristiknya yang egois dan relevan, misalnya “bunga” yang dalam islam haram dan dilarang namun banyak disukai oleh manusia karena manfaat duniawinya.

 SELF INTEREST menjadi titik tekan dalam kajian ekonomi. Bahwa manusia memang mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya dalam kehidupannya demi mencapai kesejahteraan dirinya (diri disini dapat kita generalisasikan sebagai bentuk pribadi, keluarga atau yang lainnya).  Secara naluriyah, semua manusia menginginginkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Beberapa cara dari mulai yang ideal sampai yang pragmatis ditempuh untuk mencapai tujuan itu. Walaupun pada dasarnya semua memilik tujuan yang sama namun caranya untuk menggapainya tentu berbeda-beda, bahkan ada yang berlawanan.

PERBINCANGAN mengenai self-interest tetap memikat. Ini karena konsep self-interest menyeruak ke tengah arena diskursus secara dinamis, dan senantiasa berada dalam suatu tegangan pro-kontra. Baik itu dalam diskursus filosofis, sosiologi maupun politik. Dalam filsafat Plato, misalnya, self-interets diposisikan sebagai sesuatu yang negatif. Dikatakan Plato, self-interest merupakan biang kejahatan dan dosa. Baginya self-interest hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara itu, Aristoteles memandang secara ambigu keberadaan self-interest. Menurutnya, self-interest tidak melulu negatif, melainkan juga positif. Sebab, menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Namun demikian, pada akhirnya, yang disebut good interest menurut Aristoteles adalah kepentingan umum (common interest) yang memungkinkan terbentuknya suatu unanimitas masyarakat. Lalu dalam pandangan Agustinus, keberadaan self-interest disubordinasikan kepada kecintaan dan pengabdian kepada Yang Ilahiah. Dengan kata lain, di mata Agustinus, self-interest merupakan gerak vertikal penghambaan diri kepada Allah. Sampai di sini, sejatinya, self-interest masih diletakkan sebagai hal yang sekunder. Konsep self-interest yang partikular dideduksikan kepada yang universal, yaitu masyarakat atau Allah, misalnya
Akan tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi yang sangat berbeda daripada era-era sebelumnya. Di sini, self-interest seolah betul-bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja Bentham yang melihat self-interest sebagai perkara psikologis individual. Meski – kata Bentham – selain self-interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap lebih prioritas. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas.

Penjelasan singkat tentang dinamika self-interest di atas menunjukkan bahwa konsep self-interest telah menempuh perjalanan filosofis-dialektis yang begitu panjang. Ini menunjukkan bahwa pada tataran filosofis konsep self-interest masih merupakan konsep yang selalu terbuka. Akan tetapi tidak demikian di dalam konteks teori ekonomi. Di dalam ekonomi, pengertian self interest sudah dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat. Di wilayah ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas tindakan manusia. Mengutip Hirschman, di dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang sehingga menjadi suatu paradigma dan doktrin.

Self interest merupakan bagian dari konsep rasionalitas ekonomi, yang pada setiap individu tentu mempunyai paradigm yang berbeda-beda. Pemahaman tentang rasionalitas tidka bisa dipaksakan begitu saja dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Inti dari adanya pengertian ekonomi yang sempit itu sendiri adalah pilihan dalam penggunaan sumber daya. Dalam pemilihan ini, manusia menjumpai masalah kelangkaan (scarcity). Dengan demikian sasaran ilmu ekonomi adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Dari sini muncul defenisi ekonomi yang dipegang sampai sekarang ini yaitu sebuah kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang terbatas yang mengandung pilihan dalam penggunaannya.

Ada beberapa titik tekan dari pengertian di atas, prilaku manusia, pilihan dan alat pemuas yang terbatas. Unsur “prilaku manusia” muncul sebagai bagian dari aplikasi naluriyah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus diwujudkan melalui aktivitas. Prilaku ini tentu merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri pelakunya, yang berupa kepercayaan, kecenderungan berpikir, tata nilai, pola pikir dan juga ideologi. Term “pilihan” merupakan hal yang wajar pula, sebab manusia punya rasa, idealisme, dan kecenderungankecenderungan serta ukuran-ukuran tertentu yang menjadi standar dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga tergantung pada yang ada di balik pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang terbatas” atau kelangkaan sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa tidak. Relativity is an attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan. Namun dalam konteks bahwa tujuan manusia mencari kekayaan, term tersebut dapat menjadi spirit untuk mendorong manusia mencapai kekayaan dengan secepatnya. Pendek kata term terakhir ini, mengimplikasikan adanya target tertentu yang harus dikejar pelaku ekonomi.

Dalam bangunan terminologinya konsep rasionalitas ekonomi itu muncul, setiap orang dapat mencari kesejahateraan hidupnya (kekayaan material) dengan cara melakukan pilihan-pilihan yang tepat bagi dirinya, dengan prinsip jangan sampai dia tidak kebagian mendapatkan itu karena terbatasnya ketersediaan maka halini dianggap sebagai sebagai sesuatu yang rasional.
Misalnya seorang produsen dianggap rasional jika ia mencapai tujuan usahanya dengan cara melakukan beberapa pilihan strategis, meminimalisasi capital dan mendapatkan keuntungan maksimum. Oleh karena itu, rasionalitas dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar tindakan kepentingan pribadi (self interest) untuk mencapai kepuasan yang bersifat material lantaran khawatir tidak mandapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber daya pemuas. Jadi rasionalitas menjadi fondasi penting bagi konsep self interest yang dijadikans eagai parameter suatu tindakan tepat atau tidak tepat dalam kacamata ekonomi.

Kepentingan pribadi atau self-interest, menjadi titik tekan di sini. Namun, menurut Adam Smith, penekanan pada self-interest itu bukan berarti mengabaikan kepentingan masyarakat. Menurutnya, dengan memaksimalkan self-interest, kepentingan (kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terpenuhi kesejahteraan masyarakat itu. Oleh karena itu, dalam buku-buku ekonomi, term rasionalitas ini dijelaskan bahwa pelaku ekonomi melakukan tindakan rasional jika ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan self-interest, dan pada saat yang sama konsisten dengan membuat pilihan-pilihannya dengan tujuan dapat dikuantifikasikan (dihitung untung ruginya) menuju kesejahteraan umum. Meskipun ada tujuan kepentingan umumnya, tetapi itu berangkat dari kepentingan pribadi.

Self interest yang dipostulatkan dengan rasionalitas bukan sesuatu yang ada begitu saja, akan tetapi memiliki historis sehingga membentuk konsep yang dibenarkan dalam ekonomi. Pada zaman merkantilisme, kaum saudagar tidak didorong untuk mendapatkan keuntungan besar, hal ini disebabkan karena dua hal, pertama, adanya kebijakan komunitas merkantilisme yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok pedagang besar melalui hak istimewa yang bersifat monopolistik, kedua, atmosfer keagamaan yang berakar dari ajaran-ajaran katolik yang kurang peduli dengan kesejahteraan, disisi yang lain. Katolik berpendapat kesejahteraan bertentangan dengan ajaran kristus. Bahkan orang kaya akan masuk neraka mereka menyebut “the merchant can scarcely or never be pleased to God”.

Karena faham ini maka para pedagang berada pada kondisi di bawah sejahtera, dengan mengalami ini mereka mengerti bahwa hidup sejahtera itu lebih penting daripada moral agama. Seseorang dianggap berhasil apabila mendapatkan kesejateraan. Bersamaan dengan itu pula kaum phisiokrasi menganggap potensi tanah sebagai sumber utama kesejahteraan yang mendominasi kegiatan ekonomi, sehingga muncul teori yang disebut circular flow yang menyatakan produksi, dan pemasaran (barter) serta konsumsi merupakan factor yang saling berhubungan. Hubungan ini harus berjalan secara alami tanpa ada tekanan, monopoli dan previledge lainnya.

Pada babak selanjutnya, teori-teori ekonomi yang dirintis kaum Phisiokrasi dikembangkan lebih jauh oleh mazhab Klasik. Teori ekonomi yang berkembang pada masa ini bermuara pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat digapai jika individuindividu diberi kebebasan untuk mengelola kepentingannya sendiri. Setiap individu paling mengerti apa yang terbaik untuk dirinya. Tiap individu berhak untuk mencari bidang usahanya untuk menghasilkan barang atau jasa yang dikehendakinya tanpa adanya pembatasan. Setiap individu akan mengerjakan apa yang dianggapnya paling baik untuk kepentingan dirinya sendiri. Untuk memenuhi tujuan itu, di pihak lain, negara harus memberlakukan pasar bebas yang dapat memunculkan persaingan secara leluasa.

Dari kondisi demikian, wacana tentang kepentingan pribadi menjadi dasar bagi prilaku ekonomi masyarakat. Setidaknya pada akhir abad ke 17 M, iklim ekonomi seperti ini yang kemudian terkenal dengan sistem kapitalis, telah menjadi bagian dari masyarakat. Aspekaspek produksi, distribusi (termasuk pemasaran), dan konsumsi tidak lepas dari tujuan kepentingan pribadi tersebut. Prilaku manusia menjadi sangat fungsional. Pada saat yang bersamaan, etika Protestan, aliran yang membuat front sendiri dari induknya, dirumuskan untuk mendorong dan menjustifikasi motif kepentingan pribadi itu dalam ekonomi kapitalis.

Sebagai hasil dari perubahan itu, doktrin-doktrin individualis mulai mendominasi pemikiran ekonomi. Prinsip kepentingan pribadi (self-interest) menjadi motif prilaku ekonomi masyarakat. Perubahan itu sangat drastis. Ketika selama berabad-abad “kran” untuk mendapatkan keuntungan ditutup oleh otoritas Gereja, maka ketika itu dibuka semangat masyarakat untuk mengejar keuntungan menjadi luar biasa. Apalagi didukung oleh teoriteori ekonomi dan etika Protestan yang melegitimasi prilaku itu. Perubahan tata nilai dan pola pikir masyarakat pun ikut berubah. Atmosfer usaha telah membentuk tata nilai masyarakat menjadi sangat mementingkan diri sendiri (egois). Iklim kehidupan pun telah terbingkai dalam frame berpikir masyarakat bahwa standar rasionalitas (kebenaran) seseorang adalah ketika ia melakukan sesuatu untuk kepentingannya sendiri. Faham sekularisme, memisahkan diri dari ajaran-ajaran agama (gereja) berkembang sangat luas. Suasana inilah yang menghantarkan masyarakat pada perdagangan bebas dan liberalisme ekonomi. Oskar Lange melukiskannya “Prinsip dari rasionalitas ekonomi menunjukkan dirinya di sini secara utuh untuk pertama kalinya dalam sejarah pembangunan aktifitas ekonomi manusia. Kondisi ini terus menguat hingga sekarang ini. Melalui imperialisme dan kolonialisme faham tersebut menancap di dunia muslim.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, sesungguhnya rasionalitas ekonomi itu diukur dari komitmen pelaku ekonomi dalam memegang kepentingan pribadinya. Ia dianggap tidak rasional jika tidak ada motif self-interest dalam prilakunya. Dalam sejarah, prinsip ini telah terbangun sejak dulu, sehingga ketika pelaku ekonomi melakukan kepentingannya sendiri tanpa peduli dengan orang lain, itu merupakan hal yang wajar, karena dari dulu terbiasa demikian. Apa yang dianggap mazhab Klasik bahwa kepentingan umum tercipta melalui pembebasan atas kepentingan-kepentingan pribadi ternyata tidak terwujud. Apalagi melihat kenyataan dunia dewasa ini, di mana gap tajam si kaya dan si miskin semakin menganga. Dari situ pulalah dapat dibuat blue print, bahwa konsep ilmu ekonomi adalah merupakan prilaku-prilaku yang dibayangi oleh ideologi kapitalis yang berkarakter individualis (egois) atas kepentingannya, yang diwujudkan dalam pilihan-pilihannya yang dapat memaksimalkan kepuasannya dengan target-target dan siasat-siasat tertentu yang efektif dan efesien agar tidak tersaingi oleh lainnya lantaran terbatasnya sumberdaya.

Ilmu ekonomi modern yang dibangun dengan kapitalisme, sangat kontradiktif dengan prinsip demokrasi ekonomi, kualitas hidup manusia dan juga kelangsungan hidup bumi dan isinya. Hal ini juga merupakan suatu bagian sosial yang cacat. System sosial yang cacat maksudnya adalah bahwa dunia barat yang mengukur segaanya dengan keuntungan material dan dilakukan oleh individu-individu yang mementingkan diri sendiri. Kering dari nuansa spiritual, tatanan moral, dan fenomena kejiwaan, sehingga yang ada hanyalah benda, akal, untung, dan kepentingan (interest). Globalisasi misalnya terlalu kasat mata untuk menjadi sebuah siasat barat dalam hal kepentingan barat.


Keilmuan barat yang dibangun dengan mengabaikan nuansa spiritual, tatanan moral, dan fenomena kejiawaaan, menurut faruqi dianggap sebagai kesalahan vital dalam seubuah bangunan system keilmuan. Oleh karena itu, rsionalitas yang dianggap oleh barat merupakan sesuatu yang skeptis.

George Soros dalam bukunya Open Society, Reforming Global Capitalism, juga mengungkapkan kritik  tajamnya terhadap kapitalisme global yang sekarang berkembang. Menurutnya, prinsip kapitalisme yang didasarkan pada laissez-faire telah menciptakan ekonomi sebagai sebuah sistem persaingan bukan kerjasama. Dengan ini maka muncul “siapa kuat siapa menang” dan “yang menang mengambil semuanya”. Demikian juga filsafat individualisme yang menjadi fondasi kapitalisme, menurutnya, harus dibenahi. Individualisme ini telah terang-terangan tidak berpihak pada kepentingan umum. Dan ini yang terjadi di lapangan. Apa yang diteorisasikan oleh aliran Klasik dan neo-Klasik bahwa jika setiap individu bekerja untuk mengejar kepentingannya sendiri, maka secara otomatis akan dicapai kebaikan masyarakat secara keseluruhan melalui tercapainya keseimbangan, menurutnya, tidak sesuai dengan realitas. Yang terjadi adalah kemiskinan, kepincangan dan kerusakan lingkungan hidup. Kritik Soros terhadap kapitalisme memang menarik, karena ia sendiri seorang kapitalis. Soros juga mengakui bahwa kebenaran itu tidak bisa dicapai oleh manusia karena keterbatasannya.

Gugatan terhdap kapitalisme ini sesungguhnya diakibatkan kegagalannya dalam menciptatakn keadilan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Satu factor yang membuat kesulitan menciptakan kondisi itu adalah karena kegiatan ekonomi yang luas diukur dengan standar kebenaran yang individualis (selfish), padahal setiap orang memiliki takaran rasionalitas yang berbeda.

Dengan keadaan penyalahgunaan istilah self interest oleh kapitalis tersebut, maka solusinya agar self interest dapat diterima maka dia harus disandingkan dengan konsep maslahah yang menjadi kajian utama ekonomi islam. Maslahah adalah sesuatu yang baik, bukan saja untuk pelaku tetapi juga orang lain. Oleh karena itu, maslahah disebut juga sebagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang terkandung di dalam maslahah dapat kita petakan, yaitu kepentingan pribadi, masyarakat, Negara atau umat manusia. Kepentingan pribadi atau self interest, harus diakui, khususnya ketika kepentingan tersebut hanya dalam wilayah domestic (keluarga). Terhadap kepentingan pribadi (self interest) ini islma juga merekomendasikan. Pengakuan tersebut sebagai konsekuensi atas ciptaan Tuhan yang berupa nafsu (kebutuhan dan keinginan). Dari nafsu ini berkembang keinginan manusia, berubah, dan bermetamorfose menuju derajat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, keinginan itu sebenarnya instink dasar hidup manusia.

Dalam al qur’an (tulis dlm lembarannya) saja dikatakan bahwa dibuat manusia itu memiliki rasa kecintaan terhadap perempuan-perempuan, anak-anak, kekayaan emas, perak,, dan sebagainya. Ini menunjukkan al Qur’an mengakui hal tersebut. dalam sebuah hadits juga dikatakan bahwa manusia itu selalu kurang, jika ada dua danau yang berisi harta benda, manusia menginginkan tiga danau. Ini juga sebuah bukti bahwa manusia memiliki naluri mencintai harta (self interest). Oleh karena itu wajar jika self interest cenderung selalu diutamakan dalam setiap aktivitas kehidupan manusia, termasuk ekonomi. Dengan kata lain, kepentingan manusia untuk memprioritaskan diri sendiri itu tidak dilarang dalam agama. Melalui hal itu, sesungguhnya agama mengisyaratkan agar manusia bisa memiliki dinamika hidup yang lebih variatif. Ketika itu tidak dilarang agama dan mempunyai tujuan baik, maka itu termasuk mas}lah}ah, lebih tepatnya kemaslahatan pribadi. Dalam kasus ekonomi, misalnya, ketika seseorang penjahit membuat bajunya sendiri, anaknya dan istrinya. Ini termasuk instink manusia untuk bisa menghemat uang. Dan sikap ini sebuah kemaslahatan walaupun untuk dirinya. Islam terlalu realistis untuk mengabaikan bahwa manusia itu pada dasarnya egoistik. Pada poin inilah sesungguhnya yang kurang digali lebih dalam terkait prilaku rasional ekonomi dalam perspektif Islam.

Dalam konteks pergaulan ekonomi, naluri egoistis (selfish) bisa muncul dan berbenturan dengan egoistis orang lain. Sepanjang benturan tidak saling merugikan maka hal itu masih dapat diterima. Pada keadaan tersebut, maslahah kemasyarakatan ditetapkan. Artinya interaksi ekonmi terjadi secara seimbang, tidak ada yang terlalu dirugikan dan yang terlalu diuntungkan. Dari situ konsep an tarad (ridho sama ridho) dibelakukan.

Apa yang digagas oleh para pemikir Islam kaitan dengan prilaku ekonomi dalam konteks ini cenderung menekankan pada unsur sosialnya. Walaupun tidak salah, tetapi menitikberatkan terlalu banyak kepada Islamic man sebagai insan yang lebih memiliki sifat mementingkan orang lain dan memiliki kesadaran sosial tinggi daripada dirinya, terlalu sangat berlebihan (untuk tidak mengatakannya kurang realistis). Kemaslahatan di sini berangkat dari sikap jujur, terbuka, dan kepentingan bersama. Sepanjang manusia melakukan tindakan itu, maka benturan-benturan kepentingan dapat diminimalisir. Artinya, sepanjang sifat egoisme itu dibarengi dengan sikap-sikap itu, maka konflik kepentingan tereduksi. Di sisi lain, peran pemerintah untuk mengintervensi pasar juga perlu dilakukan. Tindakan ini hanya jika dibutuhkan dalam penanganan-penanganan kasus-kasus kepentingan yang tidak bisa diatasi Demikian kemaslahatan terus berkembang secara meluas. Artinya, semakin kemaslahatan itu memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada pelaku dan orang banyak, masyarakat, wilayah, atau sampai kehidupan manusia secara keseluruhan, maka, menurut penulis, itulah kemaslahatan yang dikehendaki oleh shari>‘ah Islam. Hal ini bukan berarti kemaslahatan individu atau masyarakat tidak sesuai shari>‘ah. Kemaslahatan bersifat mengembang. Dan setiap titik yang terlampaui oleh kemaslahatan, itulah kemaslahatan juga. Mungkin lebih tepatnya kemaslahatan sementara. Sebab kemaslahatan sesungguhnya adalah kemaslahatan yansg bisa menjangkau semua kehidupan manusia. Itulah kemaslahatan sejati. Dan mungkin inilah yang dimaksud oleh al-Faruqi sebagai ketauhidan universal (the unity of humanity), di mana kehidupan manusia dalam berbagai bentuk ras, warna kulit, bentuk tubuh, kepribadian, ragam bahasa dan budaya menyatu dalam satu nilai-nilai ontologis ketuhanan. Penyatuan tersebut secara detail, menurut Naqvi, masuk dalam wilayah politik, ekonomi, sosial, dan agama, di mana kehidupan manusia ditransformasikan dalam kehidupan kemanusiaan secara menyeluruh dengan konsisten dan terintegrasi dengan alam tanpa pembeda. Dengan itu manusia mencapai harmonitas melalui munculnya rasa memiliki persaudaraan universal.

Self interest dalam rasionalitas konvesional tentu berbeda dengan pandanagn ekonomi islam, perbedaannya adalah pertama, self interest didasarkan pada kecintaanny terhadap materi yang dianggapnya satu-satunya pemuas kebutuhan, kedua, egoism yang didasarkan pada materialism terlalu kaku untuk bisa bersikap jujur, adil, dan terbuka, ketiga, sikap altruistic dwujudkan hanya untuk kepentingan material semata dimana itu bagian dari siasat jangka panjang untuk menunggu kepuasan yang lebih besar, keempat, kepuasan diukur secara berlebihan sehingga seringkali membuat tidak sadar akan keterbatasan-keterbatasan pelakunya, dan kelima, terbatsanya intervensi Negara dalam pasar ekonomi menjadikan iklim ekonomi riskan mengundang konflik. Sedangkan dalam self interestnya ekonomi islam, dengan pendek kata kita sebut dengan self interest yang tidka mengabaikan kepentingan sosial, sehingga dalam self interest syariah terkandung social interest. Yang orientasi self interestnya adalah objektif, sedangkan dalam kapitalime, seflf interest cenderung subjektif dan selfish.

Rasionalitas ekonomi dalam konsep syariah/ekonmi islam dapat kita derivasikan dengan al milk yaitu kepemilikan yang dalam koridor bertanggung jawab kepada masayarakat dalam bentuk distribusi yang adil apabila telah sampai nisab atau haulnya, kepemilikan adalah sangat dianjurkan oleh agama islam selagi tidak merugikan orang lain dan tidak menyalahi syariat. Kepemilikan ini juga tetap menjaga kemasalahatan yang liama yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemasalahatna dunia menghasilkan kemaslahatan akhirat. Kemaslahatan terdiri dari tiga yaitu daruriyah (wajib), hajjiyah dan tahsiniyah, dan untuk memenuhi itu self interest yang tidak merugikan orang lain bisa diterapkan, hal ini juga didukung dengan pernyataan Allah dalam Al Qur’an bahwa manusia tikda boleh terlalu mengulurkan tangan agar tidak membuat diri sengsara karena membuat diri sendiri sengsara adalah kezaliman.

Kemudian dapat penulis elaborasi pernyataan amartya sen, bahwa self interest harus dibekali dengan rasa simpati dan komitmen sehingga tidak hanya diri sendiri yang dipikirkan akan tetapi juga orang lain. Simpati adalah rasa berbagi dan komitmen adalah tindakan nyata dari sikap simpati tersebut.
Self interest sendiri memiliki tiga tingkatan yaitu, al nafs (self interest) al muthmainnah, al nafs al lawamah, dan al nafs al ammarah. Pada yang disebutkan pertama terkandung kesadaran ketuhanan, kesempurnaan diri, berhimpitnya dan sein dan das sollen, pada self interest kedua terkandung kesadaran intuitif, pengenalan diri muncul idealism, dan terlibat proses sosial, dan pada yang terakhir inilah sifat dari self interest kapitalisme egois yang tidak bermoral yang tidak mengandung maslahah umum.

Dengan demikian self interest dengan rasionalitasnya harus memihak kepada kemaslahatan sebagai wujud tanggung jawab bukan hanya kepada makhluk di dunia akan tetapi juga kepada Allah SWT.

Selasa, 12 Mei 2015

FILOSOFIS, DAN PRINSIP DASAR PERBANKAN SYARIAH



ABSTRAK
Nama JUREID, NIM: 01214040003, Jurusan Ekonomi Islam, Judul Makalah : Tujuan, Filosofis, dan Prinsip-prinsip Dasar Perbankan Syariah. Dosen Pembimbing Bapak Dr. Andri Soemitra, M.Ag.

Perbankan syariah merupakan lembaga keuangan yang sistem operasionalnya berdasarkan prinsip syariah.Perbankan syariah bertujuan menunjang pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat” yang dalam penjelasannya pasal 3 dikatakan dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, peebankan syariah tetap berpegang pada prinsip syariah secara kaffah dan konsisten. Filosofis perbankan syariah sejalan dengan filosfis ekonomi syariah yang meliputi beberapa unsur diantaranya adalah tauhid, keseimbangan (equilibrium), kebebasan, produktif, adil, memiliki akhlak dan moralitas usaha, dan tanggung jawab. Prinsip utama perbankan syariah adalah mienghindari maghrib dan wujud nyatanya dari pada prinsip tersebut adalah dalam bentuk prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan pemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna) sesuai dengan Undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perbankan.

Kata Kunci: perbankan syariah.










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
1400 tahun yang lalu, Nabi Muhammad Saw mendakwahkan islam sebagai sebagai satu-satunya agama yang di ridhoi bagi umat manusia. Bahwa manusia dalam islam harus lah kaffah. Di dalam prinsip islam (Islamic law) tidak ada pemisahan antara agama dan Negara dan unsur-unsur kehidupan lainnya termasuk dalam hal ekonomi, sebagaimana yang terjadi didunia barat (sekuler)
Islam adalah pandangan hidup yang seimbang dan terpadu, didesain untuk mengantarkan kebahagiaan manusia (falah) lewat penegakan keharmonisan, kebutuhan moral dan materi manusia, dan aktualisasi keadilan sosio ekonomi dan persaudaraan dalam masyarakat. Seruan untuk kesejahteraan yang berorientasi keadilan dan keseimbangan ini diulang-ulang setiap hari lima kali dari atas menara. Kaum muslimin telah memulai menyambut seruan ini dan terdapat kebangkitan kembali di dalam dunia islam seperti dalam lapangan intelektual.
Sesuai dengan tujuannya yaitu falah dunia akhirat, maka kaum intelektual muslim mulai merancang suatu sistem keuangan dalam hal ini perbankan yang sesuai nash, maka dibentukkan suatu sistem perbankan islam/syariah yang pada prinsipnya free of interest (tanpa bunga).
Perbankan syariah atau perbankan islam (al Mashrafiyah al islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum islam (syariah). Sistem ini berdasarkan al Qur’an yaitu adanya larangan riba dalam praktiknya, serta adanya larangan dalam hal yang haram/terlarang.
Meskipun prinsip-prinsip yang disebutkan di atas mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian islam, namun baru pada abad ke 20 mulai berdiri bank-bank islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta/semi swata dalam komunitas muslim di di dunia.[1]
Konsep perbankan syariah ini sendiri merupakan hal yang relatif baru bagi bila dibandingkan dengan konvensional bagi masyarakat Indonesia. Walaupun pemikiran konsep dasar perbankan syariah itu telah berjalan lama, kenyataannya praktek-praktek syariah itu baru dimulai pada tahun 1992. Berdasarkan kenyataannya bahwa praktek perbankan syariah itu baru pada tahap awal (an infant stage), adalah wajar bila sistem perbankan syariah itu masih kurang dimengerti oleh masyarakat, sehingga sebagian dari mereka memandang, bahkan sebagian lagi telah ikut menggunakan jasa bank syariah, dengan harap-harap cemas dan keraguan sekaligus.
Namun demikian, kelahiran bank syariah di Indonesia adalah didorong oleh keinginan masyarakat Indonesia (terutama masyarakat islam) yang berpandangan bunga merupakan riba, sehingga dilarang oleh agama. Dari aspek hukum, yang mendasari perkembangan bank syariah di Indonesia adalah UU no. 7 Tahun 1992. Dalam UU tersebut prinsip syariah masih samar, yang dinyatakan sebagai prinsip bagi hasil. Prinsip perbankan syariah secara tegas dinyatakan dalam UU No. 10 tahun 1998, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No. 3 tahun 2004. Dengan demikian, perkembangan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah dimulai pada tahun 1992, yang diawali dengan berdirinya bank Muamalat Inodonesia (BMI) sebagai bank berbasis syariah pertama di Indonesia.
Bila masyarakat kita ditanya apakah bank syariah itu, maka kebanyakan mereka hanya menyatakan bahwa bank syariah itu adalah bank tanpa bunga, bahkan ada juga yang mengatakan sama saja dengan bank konvensional. Pernyataan pertama memang benar adanya, namun sebenarnya bank syariah tidak sekedar itu. Lagi pula produk bank syariah bukan merupakan produk yang aneh ( exotic product ), dan bukan hanya diperuntukkan atau hanya dapat diterima oleh muslim saja. Akan tetapi diperuntukkan untuk semua kalangan sebagaimana tujuan al Qur’an bahwa islam dalam segala ruang lingkupnya adalah rahmatan lilalamin.
Berdirinya perbankan dengan sistem bagi hasil, di dasarkan pada dua alasan utama yaitu pertama, adanya pandangan bahwa bunga (interest) pada bank konvensional hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba yang dilarang agama, bukan saja pada agama islam tetapi juga oleh agama samawi lainnya, kedua, dari aspek ekonomi, penyerahan resiko usaha terhadap terhadap salah satu pihak di nilai melanggar norma keadilan. Dalam jangka panjang sistem perbankan konvensional akan menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang kaya atau yang memiliki kapital besar.
Maka dalam hal ini penulis akan mengkaji perbankan syariah dari sisi tujuan, filosofis, dan prinsip-prinsip dasarnya yang mungkin kajian ini akan dapat memberikan khasanah kepada penulis dan pembaca lainnya seperti apa perbankan syariah itu.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada karya tulis ini adalah :
1.      Apa tujuan perbankan syariah?
2.      Bagaimana falsafah perbankan syariah?
3.      Bagaimana prinsip-prinsip dasar perbankan syariah?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah perbankan syariah dan sebagai bahan presentasi sebagai karakteristik penilaian.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekilas Ekonomi syariah
Sebelum kita berbicara tentang perbankan syariah itu sendiri, alangkah penting kita melihat ekonomi dalam sistem islam itu sendiri, dalam hal ini kita sebut dengan ekonomi syariah. Hal ini karena perbankan syariah sendiri adalah salah satu dari sekian instrumen yang ada dalam pengembangan ekonomi syariah itu sendiri.
Ekonomi syariah adalah kumpulan norma hukum yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits yang mengatur urusan perekonomian umat manusia. Maka dengan defenisi tersebut, dalam setiap tindakan ekonomi atau kegiatan usaha dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.[2] Misalnya Bank Syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Dari pengertian tersebut, dapat kita rumuskan beberapa tujuan sistem ekonomi syariah diantaranya:
1.      Kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral islam. Dasar pemikiran ini dapat kita lihat pada ayat al Qur’an misalnya al baqarah ayat 2 dan 168, al Maidah ayat 87-88 dan al Jumu’ah ayat 10.
2.      Mencari kesenangan akhirat yang di ridhoi Allah Swt dengan segala capital yang diberikan Allah kepada kita
3.      Membentuk masyarakat dengan tatanan social yang solid berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal. Termaktub dalam surat al Hujurat ayat 13, al Maidah ayat 8, dan asy syuu’ara ayat ayat 183.
4.      Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata.
5.      Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
6.      Menghindari kebinasaan di muka bumi.
Ekonomi syariah memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berfokus pada amar ma’ruf nahi munkar yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Hal ini dikategorikan sebagai:
a.       Ekonomi ilahiyyah (ekonomi Ketuhanan)
Hal ini mengandung arti bahwa manusia didalam melaksanakan kegiatan ekonominya adalah untuk ibadah, sehingga manusia wajib menaati syariatnya dengan tujuan mendapatkan keridhaannya. Berbakti kepada Tuhan adalah Tujuan muslim sebagai konsekuensinya yaitu kampung akhirat, tiap-tiap orang akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya ketika di dunia.
b.      Ekonomi Akhlak
Bahwa dalam sifat dan akhlak yang baik maka hal yang berkaitan dengan sektor produksi, distribusi dan konsumsi akan dapat dikontrol dan sifat tidak tidak peduli terhadap orang lain dapat dihilangkan.[3]

c.       Ekonomi Kemanusiaan
Manusia sebagai khalifah di muka bumi diberikan tanggung jawab untuk mengelola, mengolah dan mempergunakan sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Manusia boleh berkreasi dan berinovasi serta bekerja keras untuk kemakmurannya.
d.      Ekonomi keseimbangan
Selain menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, kita juga sangat diwajibkan menjga kepentingan pribadi dengan kepentingan umum dan bentuk hak dan kewajiban sehingga ekonomi itu tidak hanya ada pada yang mampu saja dan mengabaikan hak yang lemah.[4]
Karakteristik ekonomi islam yang telah penulis uraikan di atas dapat kita derivasi menjadi nilai atau landasan filosofis yang dianut oleh  perbankan syariah, hal ini karena perbankan syariah. Bahkan secara global mencakup tujuan dan prinsipnya perbankan syariah itu sendiri.
B.     Pengertian Perbankan/bank Syariah
Perbankan syariah (Islamic Bank) sebagai perbankan yang relatif muda bila dibandingkan dengan perbankan konvensional adalah perbankan yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas bank syariah selain istilah bank islam itu sendiri, yakni bank tanpa bunga (interest free bank), bank tanpa riba (lariba bank) dan Islamic bank itu sendiri. Indonesia sendiri secara teknis yuridis, penyebutan bank islam mempergunakan istilah resmi “bank syariah” atau yang secara lengkap disebut “bank berdasarkan prinsip syariah”.[5]
Sedangkan menurut Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 perbankan syariah/bank syariah  adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberi jasa lalu lintas pembayaran.[6]
Selain itu, dalam pasal 1 ayat 13 Undang-undang No. 10 tahun 1998 dinyatakan bahwa:
“prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya dengan dinyatakan sesuai dengan syariah,……”
Sementara itu, dalam pasal 1 angka 1 undang-undang No. 21 tahun 2008 perbankan syariah adalah segala sesuatu yag menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.[7] hal ini menegaskan bahwa segala hal mengenai perbankan syariah baik menyangkut kelembagaan, kegiatan usaha, maupun prosesnya dilakukan berdasarkan undang-undang baru ini. Ini mengindikasikan bahwa pada undang-undang sebelumnya yang mengatakan bahwa setiap kegiatan usaha-usaha yang berdasarkan prinsip syariah dikatakan sebagai kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil mulai ditinggalkan, sebab dunia perbankan Indonesia sudah mulai mengenal dan mengakui perbankan syariah dan menerapkan dual banking sistem (konvensional dan syariah).
Selanjutnya prinsip tersebut akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Didalam menjalankan operasinya bank syariah mempunyai fungsi antara lain:
1.      Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip bagi hasil dengan kebijakan investasi bank
2.      Sebagai pengelola/manajer investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana/shahibul maal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (bank bertindak sebagai manajer investasi)
3.      Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Bisa dikatakan bank juga disebut sebagai investor.
4.      Sebagai pengelola fungsi social seperti zakat dan dana charity lainnya.
C.    Tujuan Perbankan syariah
Pada Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan terdapat beberapa perubahan memberikan peluang yang lebih besar dari pengembangan perbankan syariah. Dari Undang-undang tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa di dalam sistem perbankan islam dikembangkan dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Memenuhi jasa perbankan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, teruatama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga (interest)
2.      Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara dalam bank konvensional konsepnya adalah debtor and creditor relationship.
3.      Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaaan bunga yang berkesinambungan (perpectual interest effect), membatasi usaha spekulatif yang tidak produktif (unproductive speculation), pembiayaan ditujukan kepda usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.
Kemudian menurut Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 3 termaktub bahwa “perbankan syariah bertujuan menunjang pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat” yang dalam penjelasannya pasal 3 dikatakan dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, peebankan syariah tetap berpegang pada prinsip syariah secara kaffah dan konsisten.
Kemudian kita melihat beberapa tujuan banka syariah yang oleh amin aziz sebagai berikut:[8]
1.      Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan kualitas kehidupan social ekonomi masyarakat banyak.
2.      Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembanguanan terutama di bidang ekonomi keuangan.
3.      Berkembangnya lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha-usaha ekonomi masyarakat banyak antaar lain memperluas jaringan lembaga-lembaga keuangan perbankan ke daerah-daerah terpencil.
4.      Mendidik masyarakat untuk berpikir ekonomis dan berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
5.      Berusaha membuktikan bahwa konsep perbankan islam dapat tumbuh dan berkembang melebihi bank-bank lainnya.
Kita melihat tujuan ini sangatlah global dan jangkauannya sangat luas, saya sebagai penulis menambahkan kekhususan yang mungkin untuk mencapainya juga butuh kerja keras yaitu menegakkan nilai islam secara kaffah di dalam sistem perbankan itu sendiri. Saya berpikir hal ini karena saya melihat di bank syariah sendiri masih ada yang namanya pendapatan non halal yang sama sekali hal ini tidak sejalan dengan perjuangan syariah itu sendiri.
D.    Filosofis Perbankan Syariah

Kalau kita mengacu kepada pengertian ekonomi syariah di atas, maka dapat kita rumuskan tiga filsafat hukum ekonomi syariah. Pertama, semua yang ada dialam semesta ini, langit, bumi, serta sumber-sumber alam lainnya bahkan kekayaan yang dimiliki manusia sekalipun adalah milik Allah dan Allah lah yang menciptakannya. Semua yang diciptakanNya tunduk pada kehendak dan ketentuanNya. Manusia sebagai khalifah berhak mengurus dan memanfaatkan alam ini untuk kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan lingkungannya. (QS. Thaha ayat 6 dan Al Maidah ayat 120). Kedua, Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dengan segala perlengkapannya yang sempurna, agar ia mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya di bumi. (QS. Lukman ayat 20, An Nahl ayat 10-16, Fatir 27-28). Ketiga beriman kepada hari kiamat dan hari pengadilan. Keyakinan apda hari kiamat merupakan asas yang penting karena dengan hal tersebut tingkah laku ekonomi manusia akan dapat terkendali, dan ia akan amanah atas semua yang diberikan padanya.
Perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah, dimana ekonomi syariah merupakan bagian dari muamalat yaitu suatu perwujudan hubungan interaksi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Oleh karena itu perbankan syariah tidak terlepas dari aturan Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum islam. Perbankan syariah juga tidak terlepas dari paradigma ekonomi syariah seperti :
1.      Nilai Tauhid
Di dalam Al Qur’an dikatakan bahwa salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menghambakan diri pada Allah Swt. Penghambaan ini merupakan realisasi tauhid seorang hamba terhadap Penciptanya. Konsekuensinya segenap aktivitas ekonomi dapat bernilai ibadah jika di niatkan untuk mendekatkan diri kepada Nya.
2.      Allah SWT sebagai pemilik harta yang hakiki
Prinsip ekonomi syariah memandang bahwa Allah Swt adalah pemilik hakiki dari harta. Manusia hanya mendapatkan titipan harta dari Allah sehingga cara mendapatkan dan membelanjaknnya harus sesuai dengan aturan dari Allah sebagai pemilik hakikinya.
3.      Visi Global dan jangka panjang
Ekonomi syariah mengajarkan manusia untuk bervisi jauh ke depan dan memikirkan alam secara keseluruhan. Ajaran islam menganjurkan penganutnya untuk mengejar akhirat yang merupakan kehidupan jangka panjang tanpa melupakan dunia.
4.      Keadilan
Keadilan ini sangat penting dalam setiap hal, termasuk juga dalam tindakan ekonomi. Allah Swt memerintahkan kepda kita untuk senantiasa adil dalam menetapkan setiap hal.
Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya mempunyai falsafah mencari keridhaan Allah untuk memperoleh falah dan kebaikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu setiap kegiatan lembaga keuangan syariah yang dikhawatirkan menyimpang dari syariat harus dihindari. Perbankan syariah harus menghindarkan diri dari riba dengan cara menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha, dan menghindari sistem persentasi untuk pembebanan biaya terhadap utang dan pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis hutang tesebut hanya karena berjalannya waktu (riba nasiah). Bank syariah harus menetapkan sistem bagi hasil dan perdagangan dengan mengacu kepada Al Qur’an dan Ash Sunnah. Maka setiap transaksi perbankan syariah harus dilandasi sistem bagi hasil dan trade (pertukaran uang dengan barang).
Sejalan dengan beberapa hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat kita tarik sebuah konklusi filosofis perbankan syariah yang meliputi beberapa unsur diantaranya adalah tauhid, keseimbangan (equilibrium), kebebasan, produktif, adil, memiliki akhlak dan moralitas usaha, dan tanggung jawab.[9]
Salah satu unsur tersebut di atas, yaitu unsur keseimbangan mengartikan bahwa islam menolak daur tertutup pendapatan kekayaan, seharusnya aktivitas ekonomi, berupa harta atau modal harus merata pada seluruh masyarakat untuk menjaga keseimbangan (equilibrium) agar tidak terjadi dis equilibrium,[10] seperti yang ditegaskan dalam Al Qur’an:[11]
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”

Makna ayat di atas adalah “agar kekayaan jangan hanya beredar pada orang-orang kaya saja”.
Produktif berarti harta yang dipergunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu harta tidak boleh menganggur (idle) dan diperkenankan memperolah laba.
Asas keadilan merupakan tujuan yang hendak diwujudkan oleh hukum.[12] Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian menuntut para pihak melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Dasar hukum yang bersifat umum tentang asas ini adalah Al Maidah ayat 8 “ berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”, begitu pula dalam surat Al Hadid ayat 25 dikatakan: “ sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawakan bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.keadilan berbeda dengan persamaan. Keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi berbagai individu, baik moral maupun material, antara individu dan masyarakat,  dan antara masyarakat itu sendiri yang berlandaskan syariah islam.[13]
Adil juga berarti dilarangnya riba dan diharuskannya melakukan pembagian hasil dan resiko (profit loss sharing). Dalam hal ini adil juga sebagai paradigma hubungan antara bank dengan nasabah. Hubungan tersebut adalah kontrak (contractual agreement) atau akad antara investor shahibul maal dengan investor mudharib yang bekerja sama untuk melakukan usaha produktif dan dalam pembagiannya harus adil (mutual investment relationship). Dengan adanya usaha kerjasama investasi tersebut pada dasarnya akan mewujudkan suatu hubungan usaha yang harmonis karena berdasarkan sutau asas keadilan usaha dan menikmati keuntungan yang disepakati secara proporsional. Sedangkan apabila kita amati hubungan nasabah dengan bank konvensinal adalah kreditur dan debitur dengan menerapkan sistem bunga. Walaupun ada keinginan dari bank untuk kerjasama dan pembinaan namun hal itu sulit terlaksana dan berkesinambungan karena tujuan akhir bank adalah profit dengan mengabaikan kondisi nyata nasabah apakah usahanya sedang mengalami keuntungan atau kerugian. Sehingga hal ini dapat menimbulkan eksploitasi oleh bank terhadap nasabah atau sebaliknya.
E.     Prinsip-prinsip Dasar Perbankan syariah
Prinsip syariah adalah prinsip yang dipegang dan dijalankan dalam setiap hal oleh seseorang, badan atau lainnya yang berdasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Kata syariah itu sendiri merupakan derivasi dari hukum islam (Islamic law) yang termaktub dalam Al Quran dan sunnah tersebut.
Apabila hukum islam dilanggar maka akan mendapatkan sanksi dari Allah sebagai pemilik syariah. Hal ini lah yang dijadikan oleh Perbankan Syariah sebagai pedoman dan prinsip untuk menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar dalam kegiatan ekonominya.
Prinsip syariah yang dimaksud adalah sebagaimana pasal 2 penjelasan Undang-undang No 21 Tahun 2008 yaitu: kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a.       Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b.      Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c.       Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d.      Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e.       Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Kemudian dapat ditambahkan prinsip utama yang dianut oleh bank syariah yang tercantum PSAK no 59 mengenai akuntansi syariah yaitu:
a.       Azaz utama kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal
b.      Pelarangan riba
c.       Tidak mengenal konsep time value of money
d.      Konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas
e.       Kegiatan tidak spekulatif
f.       Tidak boleh menggunakan dua harga untuk satu barang
g.      Tidak boleh malakukan dua transaksi dalam satu akad
h.      Konsep bagi hasil
i.        Tidak membedakan antara sector moneter dan sector riil
j.        Dapat memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Kemudian bank syariah adalah bank yang menganut demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi yaitu kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sedangkan prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prinsip syariah dan prinsip utama diatas tentu bank syariah harus mewujudkannya dalam bentuk riil operasionalnya. Sehingga prinsip syariah itu diwujudkan dalam prinsip dasar operasionalnya sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 13 Undang-undang No. 10 tahun 1998 tersebut.
Sebagaimana pengertian bank syariah yang telah penulis bicarakan sebelumnya, menegaskan bahwa bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip syariah dalam jasa lalu lintas pembayarannya. Sedangkan prinsip syariah itu sendiri adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan pemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna).[14]
Pada sistem operasi bank syariah, pemilik dana (nasabah)  menginvestasikan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.
Secara garis besar prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:
1.      Prinsip Titipan/simpanan (Depository/ al Wadi’ah)
2.      Prinsip Bagi Hasil (profit loss sharing)
3.      Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase)
4.      Prinsip Sewa (operational lease and financial lease)
5.      Prinsip Jasa (Fee based service)
Untuk lebih jelasnya kita akan bicarakan dibawah ini dengan segala bentuknya.
a.      Prinsip Titipan/Wadi’ah
Prinsip wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.[15]
Pada dasarnya, wadi’ah adalah bersifat yad al amanah (tangan amanah), artinya penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan selam hal ini bukan karena kecerobohannya.[16]
Dalam perkembangannya, pada aktivitas ekonomi tidak mungkin penerima simpanan akan meng idle kan aset tersebut, akan tetapi mempergunakannya. Karena itu ia harus meminta izin untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan keadaan tersebut maka kita tidak lagi menyebutnya yal al amanah, tetapi yadh adh dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan atau keadaan lainnya pada barang.[17]
Sebagai penerima simpanan bank dapat memanfaatkan al wadi’ah untuk tujuan current account (giro) dan saving account (tabungan berjangka).
Implikasi dan konsekuensi dari prinsip ini adalah:
1.      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai insentif.
2.      Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lainnya  yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah
3.      Terhadap pembukaan rekening bank mengenakan biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi
4.      Ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Berikut ini merupakan skema wadi’ah adh dhamanah
1       
Mustawda’/penympan
Muwaddi’/penitip
titip dana
     
                                                 4 beri bonus
                                                                    3 bagi hasil                       2 peman
                                                                                                            Tan dana
Pengguna dana/usaha
 



Gambar ini menjelaskan proses terjadinya al wadiah, pihak penerima titipan boleh menggunakan uang untuk usaha dan dia dapat member bonus atas hasil usaha tersebut.


b.      Prinsip bagi hasil
Prinsip bagi hasil ini dapat dikategorikan dalam empat jenis yaitu al musyarakah, al mudharabah, al muzara’ah dan al musaqah. Namun yang paling banyak dipakai oleh perbankan adalah musyarakah dan mudharabah.
Al musyarakah (partnership, project financing participation) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil. Merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Musyarakah ini diaplikasikan dalam perbankan dalam bentuk proyek dan modal ventura. Dalam pembiayaan proyek kedua pihak sama-sama menyediakan dana. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasilnya yang telah disepakati untuk bank. Sedangkan modal ventura, penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Al Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment), berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Lebih tepatnya kita katakan proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.[18]
Dalam prakteknya, mudharabah adalah kontrak atau akad kerjasama antara dua pihak yang pihak pertama disebut rab al mal/sahibul maal (investor)  mempercayakan uangnya sebagai modal kepada pihak kedua (mudharib) seluruhnya (100%) untuk tujuan menjalankan usaha dagang dan pihak kedua sebagai pengelola modal tersebut.[19]
Mudharabah biasanya diterapkan oleh bank untuk usaha pembiaayan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana diterapkan pada tabungan berjangka (misalnya tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya), deposito biasa dan deposito special (special investment). sedangkan pada sisi pembiayaan dapat diterapkan pada modal kerja dagang atau jasa, investasi khusus (mudhrabah muqayyadah).
Al muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana mereka membuat kesepkatan atas bagi hasil panennya. Sedangkan musaqah adalah sipenggarap hanya mengarap dan memelihara saja dan dia berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
c.       Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase)
Dalam prinsip ini digunakan prinsip bai al murabahah, bai’ as salam, dan bai’ al istishna.[20]
a.       Bai’ Al Murabahah (Deferred Payment Sale)
Prinsip ini adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Biasanya konsep ini dipakai dalam murabahah kepada pemesan pembelian (KPP).
b.      Bai’ As Salam (in front payment sale)
Bai as salam merupakan aktivitas pembelian barang yang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka.
Prinsip ini biasanya dijalankan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli bank adalah barang seperti padi,  jagung, dan cabe dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan, dilakukan lah akad bai’ as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Istilah inilah yang disebut salam parallel.
c.       Bai al istishna (purchase by order or manufacture)
Transaksi bai’ al istshna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran di lakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
d.      Prinsip Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
1.      Ijarah (operational lease)
Prinsip ini adalah akad pemindahan hak guna barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan pemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.
2.      Ijarah muntahiyah bit tamlik (financial lease with purchase option)
Istilah ini dikenal juga dengan istilah hire purchase, yang merupakan perpaduan antara kontrak jula beli dan sewa atau sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewanya. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
            Bank-bank islam yang mengoperasikan sistem ijarah ini dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan ijarah muntahiyah bittamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.[21]
e.       Prinsip jasa (fee based service)
Selain dari jenis-jenis pembiayaan utama tersebut di atas, perbankan syariah juga menyelenggarakan pelayanan dengan prinsip jasa dalam bentuk:
1.      Al wakalah (deputyship)
Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandate. Atau akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa (muakkil) kepada kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama muakkil.
2.      Al kafalah (guaranty)
Al kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang di jamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
3.      Al hawalah (transfer service)
Al hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggung jawab muhal ‘alaih atau yang berkewajiban membayar utang.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) member pinjaman kepada  B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya kepada A, ia lalu mengalihkan beban utang pada C. dengan demikian, C yang harus membayar utang B ke A, sedangkan C sebelumnya pada B dianggap selesai.
4.      Ar rahn (mortgage)
Ar rhan adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rhan adalah semacam utang atau gadai.
5.      Al qardh (soft and benevolent loan).
Al qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
Demikian penjelasan mengenai prinsip-prinsip dasar perbankan syariah, prinsip dasar ini juga  akan diwujudkan oleh bank dalam bentuk produk dengan istilah yang sama pula. Intinya semuanya berdasarkan al Qur’an dan Sunnah Rasul, tentu dengan beberapa modifikasi oleh para pakar ilmu syariah.


















BAB III
PENUTUP
A.           Ksimpulan
Perbankan syariah sebagaimana termaktub di dalam undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 3 termaktub bahwa “perbankan syariah bertujuan menunjang pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat” yang dalam penjelasannya pasal 3 dikatakan dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, peebankan syariah tetap berpegang pada prinsip syariah secara kaffah dan konsisten.
filosofis perbankan syariah sejalan dengan filosfis ekonomi syariah yang meliputi beberapa unsur diantaranya adalah tauhid, keseimbangan (equilibrium), kebebasan, produktif, adil, memiliki akhlak dan moralitas usaha, dan tanggung jawab.
Prinsip perbankan syariah sebagaimana pasal 2 penjelasan Undang-undang No 21 Tahun 2008 yaitu: kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur Riba, Maisir, Gharar, Haram, Zalim, dan didukung oleh Azaz utama kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal, Pelarangan riba, Tidak mengenal konsep time value of money, Konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas, Kegiatan tidak spekulatif, Tidak boleh menggunakan dua harga untuk satu barang, Tidak boleh malakukan dua transaksi dalam satu akad, Konsep bagi hasil, Tidak membedakan antara sector moneter dan sector riil, Dapat memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dan bank syariah juga menganut demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Sedangkan wujud dari pada prinsip utama tersebut adalah dalam bentuk prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan pemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna) sesuai dengan Undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perbankan.
B.            Saran
Sebagai upaya menegakkan nilai-nilai islam dalam kehidupan manusia sebagaimana di kumandangkan oleh al Qur’an maka seyogyanya kita umat islam ikut mendukung akan program bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Salah satu wujud support kita adalah dengan ikut andil berinvestasi di Bank syariah.





DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, Jakarta: gema Insani
Haron, Sudin. 1954. Islamic Finance and Banking System. Malaysia: Sah Alam
Saeed, Abdullah. 2004. Menyoal Bank Syariah. Jakarta: Paramadina
Amin, A Riawan. 2009, Menata Perbankan Syariah Di Indonesia, Jakarta: UIN Press
Chapra, Umer. 2000. “system Moneter Islam,” Jakarta: Gema Insani Press
Haque, Ataul. 1987, Reading in Islamic Banking. Dhaka: Islamic Foundation
Ali, Zainuddin, 2008. Hukum EKonomi Syariah. Jakarta: Sinai Grafika
Undang-undang No. 10. Tahun 1998 tentang perbankan
Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Anshori, Abdul Gofur. 2010. Hukum Perjanjian di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press
Hamsir. 2011. Hukum Ekonomi Islam Pada Perbankan Syariah. Jakarta: ar Risalah
M. Amin Aziz. 1996. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia. Jakarta: Bankit




[1] Rammal, H.G. Zurbruegg, R. “awareness of Islamic Banking Products Among Muslims: The Case of Australia, dalam Journal of Financial Services  Marketing, (2007). Hal. 65-74
[2] Zainuddin Ali, “Hukum Ekonomi Syariah”, (Jakarta: Sinai Grafika, 2008), hal. 2
[3] Zainuddin Ali, “Hukum Ekonomi Syariah”, (Jakarta: Sinai Grafika, 2008), hal. 3
[4] Zainuddin Ali, “Hukum Ekonomi Syariah”, (Jakarta: Sinai Grafika, 2008), hal. 5
[5] Kasmir, “Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya”,  (Jakarta: PT. rajagrafindo persada, , 2002), hal 177
[6] Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992.
[7] Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
[8] M. Amin Aziz, “Mengembangkan Bank Islam di Indonesia” (Jakarta: Penerbit Bangkit, 1996) hal. 8
[9] Diambil dari beberapa pendapat.
[10] Hamsir, “Hukum Ekonomi Islam Pada Perbankan Syariah” (Ar Risalah: Volum 11 nomor 1 Mei 2011)
[11] Q.S. Al Hadid: 7
[12] Abdul Ghofur Anshori, “hukum Perjanjuan Islam di Indonesia (konsep regulasi dan implementasi),” (Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press, 2010), hal.33
[13] Yusuf Qhardawi (alih bahasa Didin Hafidhudin et,al), Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hal. 396
[14] Pasal I ayat 13 UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
[15] M. Syafi’I Antonio, “ Bank Syariah: dari teori ke praktek,” (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal 85
[16] Ibid, hal 86
[17] Ibid, hal 87
[18] Muhammad Rawas Qal’aji “Mu’jam Lughat al Fukaha,” (Beirut: darun Nafs, 1985), hal lihat juga dalam Syafii anotonio, Op.cit, hal 95
[19] Abdullah Saeed, “Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis” (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 77, lihat juga Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah…., hal. 95
[20] Ataul Haque, “Reading in Islamic banking,” (Dhaka: Islamic Foundation, 1987). Hal xx
[21] Op.cit, hal 119