Self interest
bila kita analisa secara bahasa, maka dapat kita tarik beberapa pengertian yang
cukup relevan dengan karakteristik pengertian aslinya sendiri. Kata self
berarti diri sendiri, misalnya dalam bahasa inggris “I do it by my self”
saya melakukannya sendiri. Jadi sifatnya sangat individual. Sedangkan interest,
dalam bahasa inggris memiliki makna yang cukup banyak bila kita artikan secara
terpisah, misalnya interest sama dengan kepentingan, bunga, menarik,
perhatian, minat, dan sebagainya.
Namun apabila kita satukan menjadi self interest, maka makna kalimat ini
adalah kepentingan pribadi (diri). Dan penggalan-penggalan makna yang
disebutkan sebelumnya menunjukkan karakteristiknya yang egois dan relevan,
misalnya “bunga” yang dalam islam haram dan dilarang namun banyak disukai oleh
manusia karena manfaat duniawinya.
SELF INTEREST menjadi titik tekan
dalam kajian ekonomi. Bahwa manusia memang mempunyai kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginannya dalam kehidupannya demi mencapai kesejahteraan
dirinya (diri disini dapat kita generalisasikan sebagai bentuk pribadi,
keluarga atau yang lainnya). Secara
naluriyah, semua manusia menginginginkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera.
Beberapa cara dari mulai yang ideal sampai yang pragmatis ditempuh untuk
mencapai tujuan itu. Walaupun pada dasarnya semua memilik tujuan yang sama
namun caranya untuk menggapainya tentu berbeda-beda, bahkan ada yang
berlawanan.
PERBINCANGAN
mengenai self-interest tetap memikat. Ini karena konsep self-interest
menyeruak ke tengah arena diskursus secara dinamis, dan senantiasa berada dalam
suatu tegangan pro-kontra. Baik itu dalam diskursus filosofis, sosiologi maupun
politik. Dalam filsafat Plato, misalnya, self-interets diposisikan
sebagai sesuatu yang negatif. Dikatakan Plato, self-interest merupakan
biang kejahatan dan dosa. Baginya self-interest hanya akan mendorong
individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara itu, Aristoteles
memandang secara ambigu keberadaan self-interest. Menurutnya, self-interest
tidak melulu negatif, melainkan juga positif. Sebab, menurutnya self-interest
pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good
self-interest. Namun demikian, pada akhirnya, yang disebut good interest
menurut Aristoteles adalah kepentingan umum (common interest)
yang memungkinkan terbentuknya suatu unanimitas masyarakat. Lalu dalam
pandangan Agustinus, keberadaan self-interest disubordinasikan kepada
kecintaan dan pengabdian kepada Yang Ilahiah. Dengan kata lain, di mata
Agustinus, self-interest merupakan gerak vertikal penghambaan diri
kepada Allah. Sampai di sini, sejatinya, self-interest masih diletakkan
sebagai hal yang sekunder. Konsep self-interest yang partikular
dideduksikan kepada yang universal, yaitu masyarakat atau Allah, misalnya
Akan
tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi
yang sangat berbeda daripada era-era sebelumnya. Di sini, self-interest
seolah betul-bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja Bentham yang
melihat self-interest sebagai perkara psikologis individual. Meski –
kata Bentham – selain self-interest terhubung dengan kepentingan
masyarakat, namun self-interest dianggap lebih prioritas. Selanjutnya
Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari
kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-interest
sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas.
Penjelasan
singkat tentang dinamika self-interest di atas menunjukkan bahwa konsep self-interest
telah menempuh perjalanan filosofis-dialektis yang begitu panjang. Ini
menunjukkan bahwa pada tataran filosofis konsep self-interest masih
merupakan konsep yang selalu terbuka. Akan tetapi tidak demikian di dalam
konteks teori ekonomi. Di dalam ekonomi, pengertian self interest sudah
dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat. Di wilayah ini,
self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas
tindakan manusia. Mengutip Hirschman, di dalam ilmu ekonomi konsep self-interest
begitu cepat berkembang sehingga menjadi suatu paradigma dan doktrin.
Self interest merupakan bagian dari
konsep rasionalitas ekonomi, yang pada setiap individu tentu mempunyai paradigm
yang berbeda-beda. Pemahaman tentang rasionalitas tidka bisa dipaksakan begitu
saja dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Inti dari adanya pengertian
ekonomi yang sempit itu sendiri adalah pilihan dalam penggunaan sumber daya.
Dalam pemilihan ini, manusia menjumpai masalah kelangkaan (scarcity).
Dengan demikian sasaran ilmu ekonomi adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu.
Dari sini muncul defenisi ekonomi yang dipegang sampai sekarang ini yaitu
sebuah kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan
alat-alat pemuas yang terbatas yang mengandung pilihan dalam penggunaannya.
Ada beberapa titik tekan dari
pengertian di atas, prilaku manusia, pilihan dan alat pemuas yang terbatas. Unsur
“prilaku manusia” muncul sebagai bagian dari aplikasi naluriyah manusia untuk
mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus diwujudkan melalui aktivitas.
Prilaku ini tentu merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri pelakunya,
yang berupa kepercayaan, kecenderungan berpikir, tata nilai, pola pikir dan
juga ideologi. Term “pilihan” merupakan hal yang wajar pula, sebab manusia
punya rasa, idealisme, dan kecenderungankecenderungan serta ukuran-ukuran
tertentu yang menjadi standar dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga
tergantung pada yang ada di balik pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang
terbatas” atau kelangkaan sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa
tidak. Relativity is an attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan.
Namun dalam konteks bahwa tujuan manusia mencari kekayaan, term tersebut dapat
menjadi spirit untuk mendorong manusia mencapai kekayaan dengan secepatnya.
Pendek kata term terakhir ini, mengimplikasikan adanya target tertentu yang
harus dikejar pelaku ekonomi.
Dalam bangunan terminologinya konsep
rasionalitas ekonomi itu muncul, setiap orang dapat mencari kesejahateraan
hidupnya (kekayaan material) dengan cara melakukan pilihan-pilihan yang tepat
bagi dirinya, dengan prinsip jangan sampai dia tidak kebagian mendapatkan itu
karena terbatasnya ketersediaan maka halini dianggap sebagai sebagai sesuatu
yang rasional.
Misalnya seorang produsen dianggap
rasional jika ia mencapai tujuan usahanya dengan cara melakukan beberapa
pilihan strategis, meminimalisasi capital dan mendapatkan keuntungan maksimum.
Oleh karena itu, rasionalitas dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar
tindakan kepentingan pribadi (self interest) untuk mencapai kepuasan yang
bersifat material lantaran khawatir tidak mandapatkan kepuasan itu karena
terbatasnya alat atau sumber daya pemuas. Jadi rasionalitas menjadi fondasi
penting bagi konsep self interest yang dijadikans eagai parameter suatu
tindakan tepat atau tidak tepat dalam kacamata ekonomi.
Kepentingan pribadi atau
self-interest, menjadi titik tekan di sini. Namun, menurut Adam Smith,
penekanan pada self-interest itu bukan berarti mengabaikan kepentingan
masyarakat. Menurutnya, dengan memaksimalkan self-interest, kepentingan
(kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terpenuhi kesejahteraan
masyarakat itu. Oleh karena itu, dalam buku-buku ekonomi, term rasionalitas ini
dijelaskan bahwa pelaku ekonomi melakukan tindakan rasional jika ia melakukan
sesuatu yang sesuai dengan self-interest, dan pada saat yang sama konsisten
dengan membuat pilihan-pilihannya dengan tujuan dapat dikuantifikasikan
(dihitung untung ruginya) menuju kesejahteraan umum. Meskipun ada tujuan
kepentingan umumnya, tetapi itu berangkat dari kepentingan pribadi.
Self interest yang dipostulatkan
dengan rasionalitas bukan sesuatu yang ada begitu saja, akan tetapi memiliki
historis sehingga membentuk konsep yang dibenarkan dalam ekonomi. Pada zaman
merkantilisme, kaum saudagar tidak didorong untuk mendapatkan keuntungan besar,
hal ini disebabkan karena dua hal, pertama, adanya kebijakan komunitas
merkantilisme yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok pedagang besar melalui
hak istimewa yang bersifat monopolistik, kedua, atmosfer keagamaan yang
berakar dari ajaran-ajaran katolik yang kurang peduli dengan kesejahteraan,
disisi yang lain. Katolik berpendapat kesejahteraan bertentangan dengan ajaran
kristus. Bahkan orang kaya akan masuk neraka mereka menyebut “the merchant
can scarcely or never be pleased to God”.
Karena faham ini maka para pedagang
berada pada kondisi di bawah sejahtera, dengan mengalami ini mereka mengerti
bahwa hidup sejahtera itu lebih penting daripada moral agama. Seseorang
dianggap berhasil apabila mendapatkan kesejateraan. Bersamaan dengan itu pula
kaum phisiokrasi menganggap potensi tanah sebagai sumber utama kesejahteraan
yang mendominasi kegiatan ekonomi, sehingga muncul teori yang disebut circular
flow yang menyatakan produksi, dan pemasaran (barter) serta konsumsi
merupakan factor yang saling berhubungan. Hubungan ini harus berjalan secara
alami tanpa ada tekanan, monopoli dan previledge lainnya.
Pada babak selanjutnya, teori-teori ekonomi yang dirintis kaum
Phisiokrasi dikembangkan lebih jauh oleh mazhab Klasik. Teori ekonomi yang
berkembang pada masa ini bermuara pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat
yang dapat digapai jika individuindividu diberi kebebasan untuk mengelola kepentingannya
sendiri. Setiap individu paling mengerti apa yang terbaik untuk dirinya. Tiap
individu berhak untuk mencari bidang usahanya untuk menghasilkan barang atau
jasa yang dikehendakinya tanpa adanya pembatasan. Setiap individu akan
mengerjakan apa yang dianggapnya paling baik untuk kepentingan dirinya sendiri.
Untuk memenuhi tujuan itu, di pihak lain, negara harus memberlakukan pasar
bebas yang dapat memunculkan persaingan secara leluasa.
Dari kondisi demikian, wacana tentang kepentingan pribadi menjadi
dasar bagi prilaku ekonomi masyarakat. Setidaknya pada akhir abad ke 17 M,
iklim ekonomi seperti ini yang kemudian terkenal dengan sistem kapitalis, telah
menjadi bagian dari masyarakat. Aspekaspek produksi, distribusi (termasuk
pemasaran), dan konsumsi tidak lepas dari tujuan kepentingan pribadi tersebut.
Prilaku manusia menjadi sangat fungsional. Pada saat yang bersamaan, etika
Protestan, aliran yang membuat front sendiri dari induknya, dirumuskan untuk
mendorong dan menjustifikasi motif kepentingan pribadi itu dalam ekonomi
kapitalis.
Sebagai hasil dari perubahan itu, doktrin-doktrin individualis
mulai mendominasi pemikiran ekonomi. Prinsip kepentingan pribadi
(self-interest) menjadi motif prilaku ekonomi masyarakat. Perubahan itu sangat
drastis. Ketika selama berabad-abad “kran” untuk mendapatkan keuntungan ditutup
oleh otoritas Gereja, maka ketika itu dibuka semangat masyarakat untuk mengejar
keuntungan menjadi luar biasa. Apalagi didukung oleh teoriteori ekonomi dan
etika Protestan yang melegitimasi prilaku itu. Perubahan tata nilai dan pola
pikir masyarakat pun ikut berubah. Atmosfer usaha telah membentuk tata nilai
masyarakat menjadi sangat mementingkan diri sendiri (egois). Iklim kehidupan
pun telah terbingkai dalam frame berpikir masyarakat bahwa standar rasionalitas
(kebenaran) seseorang adalah ketika ia melakukan sesuatu untuk kepentingannya
sendiri. Faham sekularisme, memisahkan diri dari ajaran-ajaran agama (gereja)
berkembang sangat luas. Suasana inilah yang menghantarkan masyarakat pada perdagangan
bebas dan liberalisme ekonomi. Oskar Lange melukiskannya “Prinsip dari
rasionalitas ekonomi menunjukkan dirinya di sini secara utuh untuk pertama
kalinya dalam sejarah pembangunan aktifitas ekonomi manusia. Kondisi ini terus
menguat hingga sekarang ini. Melalui imperialisme dan kolonialisme faham
tersebut menancap di dunia muslim.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, sesungguhnya rasionalitas
ekonomi itu diukur dari komitmen pelaku ekonomi dalam memegang kepentingan
pribadinya. Ia dianggap tidak rasional jika tidak ada motif self-interest dalam
prilakunya. Dalam sejarah, prinsip ini telah terbangun sejak dulu, sehingga
ketika pelaku ekonomi melakukan kepentingannya sendiri tanpa peduli dengan
orang lain, itu merupakan hal yang wajar, karena dari dulu terbiasa demikian.
Apa yang dianggap mazhab Klasik bahwa kepentingan umum tercipta melalui
pembebasan atas kepentingan-kepentingan pribadi ternyata tidak terwujud.
Apalagi melihat kenyataan dunia dewasa ini, di mana gap tajam si kaya dan si
miskin semakin menganga. Dari situ pulalah dapat dibuat blue print, bahwa
konsep ilmu ekonomi adalah merupakan prilaku-prilaku yang dibayangi oleh
ideologi kapitalis yang berkarakter individualis (egois) atas kepentingannya,
yang diwujudkan dalam pilihan-pilihannya yang dapat memaksimalkan kepuasannya
dengan target-target dan siasat-siasat tertentu yang efektif dan efesien agar
tidak tersaingi oleh lainnya lantaran terbatasnya sumberdaya.
Ilmu ekonomi modern yang dibangun
dengan kapitalisme, sangat kontradiktif dengan prinsip demokrasi ekonomi,
kualitas hidup manusia dan juga kelangsungan hidup bumi dan isinya. Hal ini
juga merupakan suatu bagian sosial yang cacat. System sosial yang cacat
maksudnya adalah bahwa dunia barat yang mengukur segaanya dengan keuntungan
material dan dilakukan oleh individu-individu yang mementingkan diri sendiri.
Kering dari nuansa spiritual, tatanan moral, dan fenomena kejiwaan, sehingga
yang ada hanyalah benda, akal, untung, dan kepentingan (interest).
Globalisasi misalnya terlalu kasat mata untuk menjadi sebuah siasat barat dalam
hal kepentingan barat.
Keilmuan barat yang dibangun dengan
mengabaikan nuansa spiritual, tatanan moral, dan fenomena kejiawaaan, menurut
faruqi dianggap sebagai kesalahan vital dalam seubuah bangunan system keilmuan.
Oleh karena itu, rsionalitas yang dianggap oleh barat merupakan sesuatu yang
skeptis.
Gugatan terhdap kapitalisme ini
sesungguhnya diakibatkan kegagalannya dalam menciptatakn keadilan dan
kesejahteraan secara keseluruhan. Satu factor yang membuat kesulitan
menciptakan kondisi itu adalah karena kegiatan ekonomi yang luas diukur dengan
standar kebenaran yang individualis (selfish), padahal setiap orang
memiliki takaran rasionalitas yang berbeda.
Dengan keadaan penyalahgunaan
istilah self interest oleh kapitalis tersebut, maka solusinya agar self
interest dapat diterima maka dia harus disandingkan dengan konsep maslahah
yang menjadi kajian utama ekonomi islam. Maslahah adalah sesuatu yang baik,
bukan saja untuk pelaku tetapi juga orang lain. Oleh karena itu, maslahah
disebut juga sebagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang terkandung di
dalam maslahah dapat kita petakan, yaitu kepentingan pribadi, masyarakat,
Negara atau umat manusia. Kepentingan pribadi atau self interest, harus diakui,
khususnya ketika kepentingan tersebut hanya dalam wilayah domestic (keluarga).
Terhadap kepentingan pribadi (self interest) ini islma juga merekomendasikan.
Pengakuan tersebut sebagai konsekuensi atas ciptaan Tuhan yang berupa nafsu
(kebutuhan dan keinginan). Dari nafsu ini berkembang keinginan manusia,
berubah, dan bermetamorfose menuju derajat yang lebih tinggi. Oleh karena itu,
keinginan itu sebenarnya instink dasar hidup manusia.
Dalam al qur’an (tulis dlm
lembarannya) saja dikatakan bahwa dibuat manusia itu memiliki rasa kecintaan
terhadap perempuan-perempuan, anak-anak, kekayaan emas, perak,, dan sebagainya.
Ini menunjukkan al Qur’an mengakui hal tersebut. dalam sebuah hadits juga
dikatakan bahwa manusia itu selalu kurang, jika ada dua danau yang berisi harta
benda, manusia menginginkan tiga danau. Ini juga sebuah bukti bahwa manusia
memiliki naluri mencintai harta (self interest). Oleh karena itu wajar jika
self interest cenderung selalu diutamakan dalam setiap aktivitas kehidupan
manusia, termasuk ekonomi. Dengan kata lain, kepentingan manusia untuk
memprioritaskan diri sendiri itu tidak dilarang dalam agama. Melalui hal itu,
sesungguhnya agama mengisyaratkan agar manusia bisa memiliki dinamika hidup
yang lebih variatif. Ketika itu tidak dilarang agama dan mempunyai tujuan baik,
maka itu termasuk mas}lah}ah, lebih tepatnya kemaslahatan pribadi. Dalam kasus
ekonomi, misalnya, ketika seseorang penjahit membuat bajunya sendiri, anaknya
dan istrinya. Ini termasuk instink manusia untuk bisa menghemat uang. Dan sikap
ini sebuah kemaslahatan walaupun untuk dirinya. Islam terlalu realistis untuk
mengabaikan bahwa manusia itu pada dasarnya egoistik. Pada poin inilah
sesungguhnya yang kurang digali lebih dalam terkait prilaku rasional ekonomi
dalam perspektif Islam.
Dalam konteks pergaulan ekonomi,
naluri egoistis (selfish) bisa muncul dan berbenturan dengan egoistis
orang lain. Sepanjang benturan tidak saling merugikan maka hal itu masih dapat
diterima. Pada keadaan tersebut, maslahah kemasyarakatan ditetapkan. Artinya
interaksi ekonmi terjadi secara seimbang, tidak ada yang terlalu dirugikan dan
yang terlalu diuntungkan. Dari situ konsep an tarad (ridho sama ridho)
dibelakukan.
Apa yang digagas oleh para pemikir
Islam kaitan dengan prilaku ekonomi dalam konteks ini cenderung menekankan pada
unsur sosialnya. Walaupun tidak salah, tetapi menitikberatkan terlalu banyak
kepada Islamic man sebagai insan yang lebih memiliki sifat mementingkan orang
lain dan memiliki kesadaran sosial tinggi daripada dirinya, terlalu sangat
berlebihan (untuk tidak mengatakannya kurang realistis). Kemaslahatan di sini
berangkat dari sikap jujur, terbuka, dan kepentingan bersama. Sepanjang manusia
melakukan tindakan itu, maka benturan-benturan kepentingan dapat diminimalisir.
Artinya, sepanjang sifat egoisme itu dibarengi dengan sikap-sikap itu, maka
konflik kepentingan tereduksi. Di sisi lain, peran pemerintah untuk
mengintervensi pasar juga perlu dilakukan. Tindakan ini hanya jika dibutuhkan
dalam penanganan-penanganan kasus-kasus kepentingan yang tidak bisa diatasi
Demikian kemaslahatan terus berkembang secara meluas. Artinya, semakin
kemaslahatan itu memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada pelaku dan orang
banyak, masyarakat, wilayah, atau sampai kehidupan manusia secara keseluruhan,
maka, menurut penulis, itulah kemaslahatan yang dikehendaki oleh shari>‘ah
Islam. Hal ini bukan berarti kemaslahatan individu atau masyarakat tidak sesuai
shari>‘ah. Kemaslahatan bersifat mengembang. Dan setiap titik yang
terlampaui oleh kemaslahatan, itulah kemaslahatan juga. Mungkin lebih tepatnya
kemaslahatan sementara. Sebab kemaslahatan sesungguhnya adalah kemaslahatan
yansg bisa menjangkau semua kehidupan manusia. Itulah kemaslahatan sejati. Dan
mungkin inilah yang dimaksud oleh al-Faruqi sebagai ketauhidan universal (the
unity of humanity), di mana kehidupan manusia dalam berbagai bentuk ras, warna
kulit, bentuk tubuh, kepribadian, ragam bahasa dan budaya menyatu dalam satu nilai-nilai
ontologis ketuhanan. Penyatuan tersebut secara detail, menurut Naqvi, masuk
dalam wilayah politik, ekonomi, sosial, dan agama, di mana kehidupan manusia
ditransformasikan dalam kehidupan kemanusiaan secara menyeluruh dengan
konsisten dan terintegrasi dengan alam tanpa pembeda. Dengan itu manusia
mencapai harmonitas melalui munculnya rasa memiliki persaudaraan universal.
Self interest dalam rasionalitas
konvesional tentu berbeda dengan pandanagn ekonomi islam, perbedaannya adalah
pertama, self interest didasarkan pada kecintaanny terhadap materi yang
dianggapnya satu-satunya pemuas kebutuhan, kedua, egoism yang didasarkan pada
materialism terlalu kaku untuk bisa bersikap jujur, adil, dan terbuka, ketiga,
sikap altruistic dwujudkan hanya untuk kepentingan material semata dimana itu
bagian dari siasat jangka panjang untuk menunggu kepuasan yang lebih besar,
keempat, kepuasan diukur secara berlebihan sehingga seringkali membuat tidak
sadar akan keterbatasan-keterbatasan pelakunya, dan kelima, terbatsanya
intervensi Negara dalam pasar ekonomi menjadikan iklim ekonomi riskan
mengundang konflik. Sedangkan dalam self interestnya ekonomi islam, dengan
pendek kata kita sebut dengan self interest yang tidka mengabaikan kepentingan
sosial, sehingga dalam self interest syariah terkandung social interest. Yang
orientasi self interestnya adalah objektif, sedangkan dalam kapitalime, seflf
interest cenderung subjektif dan selfish.
Rasionalitas ekonomi dalam konsep
syariah/ekonmi islam dapat kita derivasikan dengan al milk yaitu kepemilikan
yang dalam koridor bertanggung jawab kepada masayarakat dalam bentuk distribusi
yang adil apabila telah sampai nisab atau haulnya, kepemilikan adalah sangat
dianjurkan oleh agama islam selagi tidak merugikan orang lain dan tidak
menyalahi syariat. Kepemilikan ini juga tetap menjaga kemasalahatan yang liama
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemasalahatna dunia menghasilkan
kemaslahatan akhirat. Kemaslahatan terdiri dari tiga yaitu daruriyah (wajib),
hajjiyah dan tahsiniyah, dan untuk memenuhi itu self interest yang tidak
merugikan orang lain bisa diterapkan, hal ini juga didukung dengan pernyataan
Allah dalam Al Qur’an bahwa manusia tikda boleh terlalu mengulurkan tangan agar
tidak membuat diri sengsara karena membuat diri sendiri sengsara adalah
kezaliman.
Kemudian dapat penulis elaborasi
pernyataan amartya sen, bahwa self interest harus dibekali dengan rasa simpati
dan komitmen sehingga tidak hanya diri sendiri yang dipikirkan akan tetapi juga
orang lain. Simpati adalah rasa berbagi dan komitmen adalah tindakan nyata dari
sikap simpati tersebut.
Self interest sendiri memiliki tiga
tingkatan yaitu, al nafs (self interest) al muthmainnah, al nafs al lawamah,
dan al nafs al ammarah. Pada yang disebutkan pertama terkandung kesadaran
ketuhanan, kesempurnaan diri, berhimpitnya dan sein dan das sollen, pada self
interest kedua terkandung kesadaran intuitif, pengenalan diri muncul idealism,
dan terlibat proses sosial, dan pada yang terakhir inilah sifat dari self
interest kapitalisme egois yang tidak bermoral yang tidak mengandung maslahah
umum.
Dengan demikian self interest dengan
rasionalitasnya harus memihak kepada kemaslahatan sebagai wujud tanggung jawab
bukan hanya kepada makhluk di dunia akan tetapi juga kepada Allah SWT.